Konten [Tampil]
Laskar Rakyat Rangkasbitung

Agresi militer Belanda adalah upaya Belanda untuk menduduki kembali Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan. Agresi militer Belanda terdiri atas Agresi Militer Belanda I (21 Juli 1947) dan Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948). Pada agresi militer Belanda I, Rangkasbitung, Lebak Banten turut mengirimkan pasukan yang disebut Laskar Rakyat atau Laskar Fisabililah.

Perjuangan rakyat Banten dalam melawan agresi militer Belanda I dilakukan oleh tentara Indonesia yang saat itu bernama Tentara Keselamatan Rakyat (TKR) dengan dibantu oleh Laskar Rakyat Banten yang terdiri atas pemuda, ulama, dan jawara. Laskar rakyat adalah satuan militer yang dibentuk untuk mendukung perjuangan rakyat dalam melawan penjajah Belanda.

Pada tanggal 23 Februari 1946, TKR dilebur dari 16 divisi menjadi 10 divisi. Di Jawa Barat yang awalnya 3 divisi dilebur menjadi 1 divisi bernama Divisi Siliwangi. Divisi 1 Banten pada tanggal 25 Mei 1946 diubah menjadi sebuah Brigade I Tirtayasa yang didalamnya terdiri atas 5 batalyon yaitu Batalyon I Serang, Batalyon II Cilegon, Batalyon III Serang, Batalyon IV Rangkasbitung dan Batayon V Pandeglang. 

Utusan Laskar Rakyat Rangkasbitung

Laskar Rakyat dari Rangkasbitung dipimpin oleh Acim (Mudjahid, 1993). Tidak dijelaskan siapa nama lengkap Acim. Namun, ada yang menyebutkan pemimpin laskar itu bernama Kosim (antaranews.com). Hal ini berdasarkan kesaksian Suminta (83 tahun) warga Rangkasbitung. Suminta yang kala itu masih duduk di bangku elas VI Sekolah Rakyat (SR) mengatakan Belanda sampai ke wilayah Rangkasbitung. Penulis menduga Acim atau Kosim adalah orang yang sama. 

Laskar Rangkasbitung yang terdiri atas, pemuda, santri dan ulama bergabung dengan laskar laskar Balaraja, laskar Mawuk dan laskar Curug untuk bergerak melawan pasukan Belanda. Perlawanan itu terjadi pada tanggal 18 Juni 1946 di wikayah Kota Tangerang dan Blaraja. Sebelum berangkat, laskar rakyat berkumpul di alun-alun karesidenan untuk melakukan doa bersama dengan ritual taburan beras kuning yang dipimpin oleh Residen Banten K.H Ahmad Chatib. 

Pada tanggal 30 Mei sampai 18 Juni 1946 pasukan NICA dibantu oleh Po An Tui mengadakan serangan ke arah Blaraja. Mereka melakukan pembakaran rumah penduduk, penganiyayaan dan pembunuhan kejam terhadap rakyat. Tercatat lebih dari 940 buah rumah dibakar di kampung Bayur, Kedaung, Karawaci, Rawanila Pabuaran, Kebon Nangka dan Pengasingan. Bahkan di kampung Pengasingan dan Kebon Nangka tanggal 7 Juni 1946 mereka memghanguskan kampung itu, menganiyaya anak-anak, dan membunuh wanita (Mudjahid, 1993).

Laskar rakyat dari berbagai daerah termasuk laskar rakyat dari Rangkasbitung bersatu membentuk laskar yang lebih besar yang disebut laskar Banten. Dengan semangat jihad fisabililahnya mereka bergeriliya melawan serdadu Belanda. Kekuata pasukan Belanda kurang lebih 200 orang dengan menggunakan truk dan 3 tank bergerak. Mereka bergerak menuju Cimone dan Jati (sebelah utara tangerang). Dari kampung Gebang mereka menembak dengan houwiser dan mortir kira-kira 180 kali, ditujukan ke Jati dan Uwung. Namun, pejuang yang ada di Uwung mulai menggempur musuh yang ada di jalan besar, sehingga mereka mundur ke pangkalannya di Kota Tangerang.

Pada tanggal 22 Juli 1947 mulai pukul 09.00 di daerah Serpong, Tangerang terjadi pertempuran dengan tentara Belanda yang kira-kira berkekuatan 50 orang. Kegiatan musuh di sektor Tangerang seterusnya terbatas pada kegiatan patroli dan tembakan artileri. Serangan-serangan belanda itu mengakibatkan bangkitnya semangat perang di kalangan rakyat Banten. Beribu-ribu rakyat dengan membawa senjata tajam golok, parang, hingga bambu runcing, serta senjata yang direbut dari Belanda membanjiri pertahanan di garis kedua. 

Residen Banten, Kyai Ahmad Khatib memimpin langsung perlawanan ini dengan bergabung dengan komandan Brigade di pos komando Tenjo. Setiap serangan penerobosan musuh mereka hadapi dengan fanatik. Semangat yang menyala-nyala itu mengakibatkan rakyat melakukan taktik pembumihangusan total. Misalnya, di sektor Serpong mereka membakari sendiri pondok-pondoknya dan merusak tanamannya. Tidak ada lagi bangunan yang berdiri tegak yang dapat dipergunakan pasukan musuh yang menyerbu itu untuk pemondokan. Dengan besarnya semangat jihad tersebut, pada agresi militer Belanda I ini Banten tidak pernah diduduki. 

Kesimpulan

Laskar rakyat dari Rangkasbitung turut berjuang mempertahankan Banten dari agresi militer Belanda I. Tanpa bersatu, serangan-serangan Belanda yang didukung dengan persenjataan modern pasti tidak akan terkalahkan. Namun, berkat pengorbanan seluruh rakyat Banten, ulama, jawara, pemuda akhirnya Belanda tidak pernah menduduki Banten pada aksi militer I ini. Pengorbanan para suhada yang dengan rela mengorbankan segala yang dimilikinya itu haruslah mendapat penghargaan dari kita semua. Penghargaan itu bukan hanya berupa bintang jasa ataupun taburan bunga di makam pahlawan, tetapi kita harus tetap menruskan perjuangan mereka untuk membangun Banten. 

Demikian, semoga bermanfaat ...

Referensi :

Mudjahid Chudari. Kumpulan Artikel, Buku Tentang Kebantenan.