Konten [Tampil]
Ilustrasi

Pengalaman seringkali dinyatakan sebagai guru terbaik dalam menyampaikan ilmu pengetahuan. Meskipun dalam tradisi intelektual, pengalaman bukanlah satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak mesti bersumber dari pengalaman kita langsung, tetapi pengetahuan bisa kita dapatkan dari riset atau penelitian, melakukan kajian literatur, observasi dan wawancara, atau mungkin bertafakur. Metode ini adalah umum dilakukan dalam menggali berbagai ilmu pengetahuan terutama ilmu sosial, budaya dan termasuk keagamaan. 

Pada tulisan ini saya akan menggambarkan tentang bagaimana tradisi wiridan di pondok pesantren. Dan pengetahuan ini bukan saja dari sumber bacaan, tetapi saya mengalaminya secara langsung. Waktu itu, saya sangat tertarik pada tradisi keilmuan di pondok pesantren, hingga akhirnya saya mondok di beberapa pondok pesantren. Pertama saya mondok di pesantren salafi Riyadul Falah, Desa Cikareo, Kec. Cileles, selanjutnya setelah kuliah saya mondok di pesantren Tarbiatusoghir, Desa Tambak, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak. 

Tujuan saya mondok, bukan karena ingin menjadi seorang ahli doa, tetapi saya ingin tahu apa saja yang santri lakukan, dan seperti apa pola pengajarannya. Proses ini saya lakukan bukan sekedar memposisikan sebagai peneliti, tetapi juga ikut belajar didalamnya. Seperti santri-santri lainnya saya ikut ngaji sesuai jadwal yang ditentukan oleh kyai. Saya belajar ilmu nahwu (Amil, Jurmiyah, Matanbinah dll). Disamping itu, diajarkan juga kitab-kitab kuning seperti kitab Ta'lim Mu'talim, Qotrul Goes, Sapinatunajah, dan lain-lain. Hal itu saya pelajari di pesantren Riyadul Falah.

Jadi, saya mondok di dua pesantren (Riyadul Falah dam Tarbiyatussohir). Tapi dari dua pesantren salafi itu, saya menemukan tradisi keilmuan yang berbeda, meskipun ada kesamaan. Persamaannya keduanya, mengajarkan ilmu nahwu dan kitab kuning. Tapi di pesantren Tarbiyatussoghir ini berbeda, karena para santri diajarkan juga ilmu hikmah dan tarekat. Para santri diberikan wiridan untuk diamalkan. Wiridan itu bukan dzikir pendek, seperti tahmid dan tasbih, tetapi merupakan untaian doa panjang yang kemudian di wirid.

Apa itu Wiridan?

Secara umum, wiridan diartikan sebagai dzikir atau doa yang dilakukan secara rutin dan terus menerus. Wiridan biasanya dilakukan setelah sholat atau pada waktu-waktu tertentu. Wiridan berasal dari kata "wirid" yang berarti "dzikir" atau "doa". Wiridan adalah bentuk amaliah dalam ilmu hikmah dan tarekat. Kata hikmah artinya kebijaksanaan, istilah ini lebih umum daripada tarekat. Sedangkan, tarekat artinya jalan atau cara mencapai kesadaran spiritual dan kebijaksanaan. 

Berdasarkan pengertian itu, maka wiridan bisa diartikan; pertama, dzikir yang dilakukan secara rutin dan terus menerus; kedua, doa yang dilakukan secara konsisten, atau terus menerus; ketiga praktik spiritual yang dilakukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual dan memperkuat hubungan dengan Allah. Wiridan yang paling umum adalah seperti dzikir Alhamdulilah, Allahuakbar, Subhanallah, dan lain-lain. Tetapi wiridan dari doa itu berbeda, ia lebih panjang dan wirid ini memiliki fungsi bukan sekedar untuk meningkatkan hubungan spiritualitas kepada Allah.

Fungsi wiridan lainnya adalah untuk pengobatan yang berkaitan dengan hal-hal ghoib. Terkait ini, pernah saya diskusikan dengan seorang ustad dari Jawa Tengah. Kebetulan saya sering diskusi dengan beliau soal hal spiritual. Beliau adalah pelaku dalam dunia pengobatan seperti ini dan sudah puluhan tahun. Beberapa pasien yang ia tangani sudah banyak, termasuk saudara saya yang terkena penyakit kiriman. Tapi menariknya, beliau mengobati dengan pendekatan psikologis juga, karena katanya sebenaranya penyakit semacam itu berumber dari pikiran.   

Beliau bukan sekedar ahli hikmat yang tidak menempuh pendidikan formal, beliau seorang terdidik, ia lulusan sarjana psikologi, disamping mendalami spiritual keagamaan. Terkait pembahasan ini, beliau membenarkan soal wiridan yang yang bukan sekedar untuk meningkatkan hubungan kepada Allah, melainkan juga memiliki fungsi tertentu. Wiridan juga bertujuan untuk mendapatkan perlindungan, keselamatan, dan keberkahan. Dalam tradisi lokal masyarakat Banten, wiridan adalah ajaran tarekat yang salah satu fungsinya untuk penampilan kesenian debus (lihat Muhamad Hudaeri, 2015:71). 

Tradisi Wiridan di Pondok Pesantren 

Waktu itu saya mempelajarinya bukan untuk maksud atau karena ada tujuan tertentu, melainkan hanya untuk memenuhi rasa penasaran saya artinya hanya untuk menambah ilmu pengetahuan dan penting dalam pemajuan kebudayaan di Provinsi Banten. Saya juga tidak mengatakan katanya, saya mengalami langsung praktik spiritualnya seperti apa, dan saya juga menghafalnya beberapa doa wiridan itu. Ini tidak mudah, karena membutuhkan pengorbanan waktu yang lama, selain itu juga membutuhkan biaya yang cukup mahal yang harus dikeluarkan sebagai mahar ijazah. Perlu dicatat, soal mahar tidak ada paksaan, kadang jika seorang guru ridho, tanpa mesti pakai mahar atau pakai mahar, tapi hanya syarat saja.

Ijazah adalah izin seorang guru atau mursyid kepada muridnya untuk melakukan wiridan atau praktik spiritual tertentu. Bentuk ijazah ini bisa berupa uang atau emas sebagai mahar yang diberikan murid kepada guru sekaligus sebagai tanda terimakasih dan penghormatan atas bimbingan dan ijazah yang diberikan. Jadi, setiap kali kita ingin mengamalakan suatu wirid kita harus mengeluarkan mahar. Jumlah mahar yang dikeluarkan pun bervariasi, paling kecil 250-500 ribu, dan paling besar mencapai jutaan rupiah. 

Sekitar hampir 2 tahun saya mempelajari kehidupan pondok pesantren. Seperti santri yang lainnya, ketika mereka puasa, saya ikut puasa. Selama puasa itu, kami diberikan doa untuk wiridan oleh guru atau Kyai. Saya diperlihatkan oleh Kyai dua kitab yang isinya adalah kumpulan doa-doa lengkap dengan sanad penisbatan setiap masing-masing doa tersebut. Jadi doa untuk wiridan itu, katanya ada beberapa tingkatan diantaranya Ijib dan ajian atau mantra, tapi bahasa arab. Ijib memiliki kedudukan lebih tinggi, sedangkan ajian di bawah ijib, imu ini dulu digunakan untuk kejawaraan dan kesenian debus.

Warisan keilmuan ini diturunkan secara turun temurun oleh sang Kyai kepada santrinya untuk diajarkan kembali kepada murid-murid mereka kelak. Ada ratusan bahkan ribuan ijib dan ajian yang sudah menjadi tradisi wiridan di pondok pesantren salafi. Tapi tidak semua pondok pesantren mengajarkan wiridan semacam ini. Buah dari wiridan seperti kekebalan, kesaktian yang itu sudah ada sejak lama. Kalau kata Kyai, ilmu ini disebut ilmu kewalian, jadi dalam penyebaran agama Islam menggunakan jalur tarekat, karena budaya mereka kala itu sudah sangat tinggi, maka tidak bisa hanya menggunakan pendekatan keilmuan biasa.

Akhirnya kala itu banyak orang yang masuk Islam bukan karena untuk meningkatkan kesadaran spiritual mereka dengan mensucikan jiwanya, tetapi mereka berharap mendapatkan "elmu" yang kuat yakni kesaktian dan kedigdayaan. Tapi hal itu tidak masalah selama mereka mau masuk Islam dengan mengucapkan kalimat syahadat. Ada beberapa tarekat yang kita kenal misalnya Qodariyah, Rifaiyah dan Samaniyah (Muhamad Hudaeri, 2015:71). Tarekat mengajarkan amalan atau wirid tertentu untuk praktek-praktek tertentu, misalnya kekebalan tubuh dari benda-benda tajam. Saat ini kita masih sering menyaksikan kesenian debus sebagai praktek tarekat itu. 

Beberapa wiridan yang diajarkan di pondok pesantren berupa ijib diantaranya Ijib Barqi, Ijib Rifai, Ijib Salah, Ijib Sihir, Ijib Setan, Ijib tuan Syekh Abdul Qodir Jaelani, dan masih banyak lagi. Tata cara untuk mengamalkan ijib ini, pertama adalah dengan ijazah berupa mahar, kemudian sang guru akan meminta untuk menuliskankan di kertas untuk nanti diamalkan. Selama mendalami ijib tersebut, kita harus puasa, biasanya tergantung dari jenis wiridannya, ada yang puasa selama 3 hari, 7 hari, 11 hari dan paling banyak 40 hari. Selama proses itu, kita juga tidak boleh ketinggalan sholat 5 waktu, karena setelah sholat harus wiridan, kecuali setelah selesai puasa, jumlah wiridannya boleh berapa saja.

Puasa dalam mempelajari ilmu ini adalah mutih, artinya saat berbuka puasa hanya mimum air putih dan makan nasi putih dicampur garam, tanpa lauk-pauk apapun. Beberapa jenis ijib tertentu "mati geni" yang artinya puasa siang malam, atau saat buka puasa hanya minum segelas air putih, tidak boleh lebih. Tak hanya itu, beberapa jenis ijib lainnya, selama puasa, doa yang di wiridnya bukan hanya setelah sholat, tetapi harus dilakukan di dalam air, setengah dada pada sore atau malam hari. Ijib ini biasanya hanya untuk wiridan khusus yang memiliki tingkatan yang lebih tinggi.  

Saya menyaksikan bagaimana para santri, setelah ngaji Al-Quran dan ngaji kitab kuning di pondok, malamnya mereka berjejer di tempat tertentu untuk melakukan wiridan. Wiridan itu dilakukan tengah malam setelah sholat tahajud, bahkan hingga tembus subuh karena saking panjang dan banyaknya jumlah wiridannya. Beberapa jenis wiridan tertentu bahkan jumlahnya mencapai ribuan. Bisa dibayanglan bagaimana keramnya kaki mereka. Tapi karena keyakinannya yang kuat, hal itu tidaklah seberapa, daripada diganggu makhluk halus, ujar mereka. 

Selama wiridan itu, mereka juga membakar wewangian yang disebut buhur. Kalau kita searching di google, buhur adalah benda semacam dupa yang dibakar supaya menghasilkan asap yang dianggap memiliki khasiat spiritual. Buhur ini memiliki bau khas ketika dibakar. Buhur banyak dijual di pasar Rangkasbitung, dan bentuknya pun macam-macam, ada yang bulat, dan panjang. Buhur dianggap memiliki fungsi magis, dalam wiridan buhur berdungsi untuk mengundang malaikat dan makhluk spiritual lainnya. 

Di pondok pesantren, tradisi wiridan ini menjadi keilmuan yang sangat mahal, karena prosesnya tidak mudah, hanya yang memiliki tekad dan keyakinan kuatlah yang mampu sukses mempelajarinya. Tradisi ini sudah menjadi keilmuan yang menarik di kalangan para santri. Mereka menghargai bukan saja karena keilmuan fiqihnya, tetapi juga keilmuan spiritualitasnya. Banyak, masyarakat yang meminta pengobatan, terutama yang berkaitan dengan penyakit kiriman. Suatu ketika saya pernah ikut ke daerah Bayah, untuk mengobati pasien yang terkena sihir.  

Jadi itulah gambaran tradisi wiridan di pondok pesantren. Saya dalam melakukan pendalaman ini secara sadar dan tetap berpikir rasional, karena sebagian orang akan menganggap bahwa keilmuan semacam itu hanyalah tahayul, tapi sebagian yang lainnya masih mempercayainya. Perbedaan pandangan semacam ini, bukanlah hal yang baru, bahkan pencetus tarekatnya sendiri pernah di kritik habis-habisan di masanya. Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani, tokoh tarekat Qodariyah pernah di kritik oleh Ibnul Jauzi, karena ia menilai ajaran itu adalah sesat (lihat kitab Al-Wafa, ditulis Ibnul Jauzi). 

Demikian, pembahasan ini semoga dapat menambah wawasan kita. Tulisan ini tidak ada maksud apapun, hanya berbagi pengetahuan, mohon maaf apabila terdapat kesalahan.