Konten [Tampil]
Ilustrasi Santri di Pondok Pesantren (sumber foto:pixabay.com)

Tradisi menebus anak yang mondok menunjukan situasi di mana ketika seorang anak yang sudah lama nyantri dan dinyatakan lulus oleh kyainya akan dipulangkan, namun harus membayar sejumlah uang tebusan yang besarannya ditentukan oleh sang Kyai. 

Saya punya sepupu dari Ibu. Ia kebetulan hampir seumuran dengan saya. Awalnya ia sekolah di Madrasah Aliyah (MA), setelah lulus ia memilih mondok di sebuah pondok pesantren salafi yang ada di wilayah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. 

Mohon maaf, tidak bisa saya sebutkan nama pondoknya, intinya setelah sekian lama mondok, singkat cerita ia pun dinyatakan lulus dari pondok itu. Sang Kyai memberitahu orang tuanya, bahwa anaknya sudah layak secara keilmuan dan diperbolehkan pulang. 

Namun, ternyata tidak bisa langsung pulang begitu saja. Santri hanya boleh pulang ketika sudah membayar uang tebusan kepada sang kyai. Uang tebusan itu dianggap wajib yang harus dikeluarkan agar ilmu yang diberikan selama mondok nantinya bermanfaat. 

Tradisi itu sebetulnya sudah ada sejak lama. Tapi, biasanya seikhlasnya, tidak ada keharusan berapapun besaranya yang penting ikhlas. Berbeda dengan kasus sepupu saya itu, ia dipinta oleh sang Kyai sekian puluh gram emas, baru anaknya diizinkan pulang.

Cerita itu dikatakan langsung oleh orang tuanya. Ibu saya menanyakan kenapa harus membayar uang tebusan kalau dirasa memberatkan. Agak sedikit jangggal memang, pondok yang dinilai tanpa pamrih mengajarkan ilmu agama, seolah menjadi tempat berjualan agama. 

Bagaimana tidak, sang Kyai meminta emas dengan jumlah pantastis. Tentu saja, meskipun uang tebusan itu dianggap tradisi, tetap sulit dibenarkan. Alih-alih ingin mendapatkan pendidikan gratis melalui pondok pesantren, justeru malah menjadi beban juga.

Diakui oleh orang tuanya, ia mengaku terbebani dengan uang tebusan itu, tetapi anehnya permintaan sang Kyai itu tetap mereka penuhi. Kabarnya mereka akan menjual satu-satunya tanah rumah yang mereka singgahi dan mereka se-keluarga ditawari tinggal di tempat sang Kyai.

"Coba pikirkan lagi, merasa jadi beban enggak," tanya Ibu. "Kenapa sampai harus habis-habisan jual tanah rumah. Kalau merasa terbebani kenapa tidak menolaknya" tanya Ibu. Beliau tetap menghiraukannya. Sebenarnya ada kekhawatiran dari pihak orang tua apabila tidak dipenuhi maka ilmu yang diajarkannya kyainya itu tidak akan bermanfaat.

Saya sepakat, guru adalah sumber keberkahan dan manfaatnya ilmu. Tapi kata-kata ini sering digunakan untuk memanipulasi orang lain secara psikologis. Orang awam sering terjebak menerima argumen secara taklid tanpa berpikir kritis. Akhirnya mereka melaksanakan ajaran agama bukan melalui pikiran sehat tapi kebodohan mereka sendiri.

Berjualan Agama

Filsuf muslim, Ibnu Rusyd pernah berkata; "Jika kamu ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah segala sesuatu yang batil dengan agama,". Ia mengingatkan bahwa agama seringkali dijadikan alat untuk tujuan materi. Ibn Rusyd menggambarkan, mereka yang berjualan agama tidak jauh berbeda hinanya seperti tukang kuli. Bahkan lebih buruk dari itu.

Sementara itu, Imam Al-Ghozali membagi ada dua jenis ulama yaitu ulama akherat dan ulama dunia. Ulama akherat mengajarkan ilmunya karena Allah, sedangkan ulama dunia, mereka yang menggunakan ilmunya untuk tujuan dunia, materi, jabatan, dan sanjungan dari orang lain. Di zaman sekarang agaknya sulit sekali menemukan ulama soleh. 

Seseorang yang betul-betul mengerti agama akan terlihat dari sifat zuhudnya, sifat waronya dan bagaimana ia memperlakuan orang lain. Semakin dalam agamanya maka semakin baik ia dalam memperlakukan orang lain. Meskipun, ilmu sendiri memiliki derajat yang lebih tinggi, tapi perlu dipahami bahwa ilmu juga berbahaya jika ditangan orang yang salah. 

Berdasarkan kutipan dari Ibnu Rusyd dan Imam Al-Ghozali ini bisa kita pahami bahwa Kyai yang meminta tebusan kepada santri atas ilmu yang diberikannya termasuk ulama dunia. Ia berjualan agama, maka tidak ada bedanya seperti pedagang kaki lima. Ia menggunakan kata-kata bahwa guru adalah sebab ilmu yang bermanfaat, tapi ini berbeda jika minta tebusan. 

Imam Al-Ghozali berkata; "manusia yang sangat memperoleh azab pada hari kiamat ialah orang yang berilmu yang tiada manfaat ilmunya,". Jika memang ia mengerti agama, seharusnya senang jika ilmu yang dipelajari santrinya itu bermanfaat, tanpa harus ada transaksi terlebih dulu. Dan seharusnya justeru ia takut jika ilmunya tidak bermanfaat.

Ilmu memang memiliki keutamaan, bahkan dalam Al-Quran disebutkan bahwa Allah akan mengangkat derajat seseorang diantaranya karena ilmunya. Tapi perlu diingat juga betapa bahayanya ilmu itu jika dipegang oleh orang yang salah. Meski begitu, dihadapan Allah semuanya sama. Imam Al-Ghozali berkata; setiap manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas sesuatu yang dimilikinya.

Imam Ghozali mengatakan, manusia akan diminta pertanggung jawaban atas tiga hal; jika seseorang miskin maka akan diminta pertanggung jawaban atas kemiskinannya; jika seseorang punya harta maka akan diminta pertanggung jawaban atas hartanya, dan jika seseorang diberikan ilmu maka ia akan diminta pertanggung jawaban atas ilmunya.

Sampai disini saya rasa cukup jelas, bahwa berjualan ilmu agama tidaklah diperkenankan. Meskipun fenomena sekarang sulit menemukan orang yang ikhlas dalam mengamalkan ilmunya. Sering kita menemukan mereka yang menuntut ilmu agama, motifnya karena keduniaan. Tapi saya yakin diluar sana masih banyak ulama alim yang betul-betul belajar dan mengajarkan ilmunya karena Allah. 

Untuk orang tua yang memasukan anaknya ke pondok pesantren, semoga lebih selektif lagi dalam memilih guru untuk anak-anaknya. Imam Syafii pernah menyarankan agar kita memilih guru yang baik, pintar dan tentu saja alim untuk masa depan anak-anak kita. Mari kita tingkatkan pikiran kritis kita, supaya kita tidak tertipu oleh oknum yang berjualan agama. 

Ada beberapa quotes dari Ibnu Rusyd tentang berjualan agama:

"Mereka yang berjualan agama adalah orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang agama." (Fasl al-Maqal).

"Berjualan agama adalah tindakan yang tidak etis dan tidak sesuai dengan ajaran Islam." (Fasl al-Maqal).

"Mereka yang menggunakan agama untuk kepentingan pribadi dan materi adalah orang-orang yang tidak memiliki iman yang benar." (Tahafut al-Tahafut).

"Agama tidak boleh digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi, tetapi harus digunakan untuk mencapai kebenaran dan keadilan." (Fasl al-Maqal).

Semoga bermanfaat ....