Konten [Tampil]
Pierre Bourdieu

Pemikiran Pierre Bourdieu sangat berpengaruh khususnya dalam bidang ilmu sosial, seperti dalam kajian budaya, dan sejarah. Teori Bourdieu dikenal dengan istilah teori tentang praktik. Teori ini menjelaskan bahwasannya realitas sosial yang ada merupakan perpaduan di antara agen dan sturktur yang saling berkaitan. 

Teori Bourdieu adalah perpaduan dari teori yang berpusat pada agen atau aktor dengan teori yang berpusat pada struktur dalam membentuk realitas sosial. Pemikiran Bourdieu mendasarkan praktik individual dan kolektif pada konsep habitus yang dibangun dalam sejarah individual dan kolektif. 

Bourdieu adalah sosiologi kelahiram Denguin Pyrenia Atlantik (Perancis) pada tahun 1930. Bourdieu merupakan salah satu pemikir yang secara gemilang mampu meletakkan pengalaman hidupnya sebagai salah satu sumber yang memberikan inspirasi teoretik bagi karya-karyanya. 

Teori yang dikemukakan oleh Bourdieu adalah struktural konstruktif (Magihut Siregar, Jurnal Studi Kultural (2016) Volume 1 No. 2:79-82). Teori yang dikenal dengan teori praktik sosial ini merupakan sintesis dari dua tokoh Aliran Pemikiran Levi-Srauss dan Jean Paul Satre. 

Levi-Strauss merupakan Bapak Strukturalisme. Dasar pemikirannya adalah bahwa aturan-aturan yang berlaku dalam setiap masyarakat merupakan suatu sistem. Menurutnya segala yang terjadi sudah dapat diprediksi sebelumnya dan dalam pandangannya manusia dalam melaksanakan aktifitasnya ditentukan oleh struktur atau aturan. 

Berbeda dengan pemikiran Jean Paul Satre, ia mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh setiap orang ditentukan oleh orang itu sendiri, bukan oleh hukum sosial atau struktur sosial. Manusia itu merupakan individu yang bebas dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri. 

Menurutnya, struktur atau aturan tidak berpengaruh karena setiap orang bertindak untuk dirinya sendiri. “Manusia menggenggam takdirnya dengan tangannya sendiri,” demikian kata Satre.

Bertolak dari dua aliran pemikiran strukturalisme dan eksistensialisme Bourdieu mengawinkan kedua teori ini. Menurutnya eksistensialisme terlalu menekankan kebebasan individu (agen) dalam berprilaku dan mengabaikan pengaruh dari struktur (norma atau aturan). Sebaliknya, strukturalisme terlalu menekankan determinisme struktur sehingga mematikan peran subjek. 

Boudieu mengawinkan kedua teori tersebut menjadi teori baru yang disebut strukturalisme konstruktif. Menurutnya terdapat hubungan yang saling memengaruhi antara subjektifitas dan objektifitas antara agen dan struktur. Pemikiran Pierre Boudieu membuka tradisi baru dalam ilmu-ilmu sosial. Kebaruannya ini tampak ketika ketika kita bandingkan dengan beberapa aliran diatas. 

Berdasarkan teori Bourdeu tersebut, kehidupan manusia dipengaruhi oleh dua hal yaitu subjektivitas dan objektivitas yang bisa merubah realitas sosial. Konsep pemikiran ini terbagi kedalam tiga bagian yaitu habitus, modal (capital), dan ranah (field).

Habitus 

Salah satu konsep penting yang digagas Bourdieu adalah habitus. Melalui konsep ini, Bourdieu menguraikan secara mendasar prinsip-prinsip kehidupan sosial sehari-hari beserta keteraturan yang mengiringinya. Konsep Habitus secara memadai mengandaikan suatu bentuk epistemologi sejarah dalam arti mengungkap relevansi praktis suatu wacana. 

Habitus menghasilkan praktik-praktik, baik individual maupun kolektif, sesuai dengan skema yang dikandung oleh sejarah, ia menjamin kehadiran aktif pengalaman-pengalaman masa lalu yang diletakan dalam setiap organisme dalam bentuk skema persepsi, pemikiran dan tindakan, terlebih semua aturan formal dan norma tersurat untuk menjamin kesesuaian praktik-praktik sepanjang waktu. Habitus menjamin koherensi hubungan konsepsi masyarakat dan pelaku. Ia menjadi perantara antara individu dan kolektivitas. 

Habitus memungkinkan dibangunnya teori produksi sosial pelaku dan logika tindakan. Ia merupakan faktor penjelasan logika berfungsinya masyarakat. Keseragaman habitus dalam suatu kelompok menjadi dasar perbedaan gaya hidup dalam suatu masyarakat. Gaya hidup dipahami sebagai keseluruhan selera, kepercayaan, dan praktik sistematis yang menjadi ciri suatu kelas. 

Habitus dapat dirumuskan sebagai sistem disposisi-disposisi (skema-skema persepsi, pikiran, dan tindakan) yang diperoleh dan bertahan lama. Habitus juga merupakan gaya hidup (lifestyle), nilai-nilai (values), watak (disposition), dan harapan kelompok sosial tertentu. Konsep habitus ini tidak hanya digunakan Bourdieu dengan makna tunggal, tetapi dalam beberapa makna yang berbeda-beda. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah makna-makna yang sering dilekatkan Bourdieu pada konsep habitus:

Pertama, habitus merupakan pengkondisian yang dikaitkan dengan keberadaan suatu kelas. Keseragaman habitus dalam suatu kelompok menjadi dasar perbedaan gaya hidup dalam suatu masyarakat. Gaya hidup dipahami sebagai keseluruhan selera, kepercayaan, dan praktik sistematis yang menjadi ciri suatu kelas. Termasuk ke dalam gaya hidup ini adalah opini politik, keyakinan filosofis, keyakinan moral, selera estetis, juga makanan dan pakaian. Karena habitus terbentuk melalui interaksi individu dengan struktur obyektif dunia sosialnya, secara otomatis, struktur subyektif individu akan menyesuaikan dengan struktur obyektif dunia sosial tersebut. Dunia sosial atau ranah yang berbeda akan menghasilkan individu dengan gaya hidup, selera, kepercayaan yang berbeda pula. Misalnya, gaya hidup kyai akan berbeda dengan masyarakat biasa, gaya hidup pengusaha akan berbeda dengan seniman. Habitus menjadi representasi kelas sosial seseorang.

Kedua, habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Dalam proses perolehan keterampilan itu, struktur-struktur yang dibentuk berubah menjadi struktur-struktur yang membentuk. Dalam penguasaan bahasa penulisan atau pemikiran, sastrawan, penulis atau pemikir dikatakan mampu menciptakan karya-karya mereka berkat kebebasan kereatifnya. Mereka tidak lagi menyadari gaya yang sudah mereka integrasikan ke dalam dirinya. Apa yang dipercaya sebagai kebebasan kreatif sebeutlnya merupakan buah pembatasan struktur-struktur. Jadi, habitus menjadi sumber penggerak tindakan, pemikiran, dan representasi (Haryatmoko, 2016:41). 

Ketiga, habitus adalah kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai realitas dan sekaligus penghasil praktik-praktik kehidupan yang sesuai dengan struktur-struktur objektif. Kedua hal tersebut tidak bsia dipisahkan. Habitus menjadi dasar kepribadian individu. Pembentukan dan berfungsinya habitus sangat memperhitungkan hasil dari keteraturan perilaku dan modalitas praktiknya mengandalkan pada improvisasi dan bukan pada kepatuhan pada aturan-aturan. Jadi, ada dua gerak timbal balik, pertama struktur objektif yang dibatinkan: kedua gerak subjektif (persepsi, pengelompokan, evaluasi) yang menyingkapkan hasil pembatinan yang biasanya berupa nilai-nilai.

Keempat, habitus merupakan struktur intern yang selalu dalam proses restrukturisasi. Jadi praktik-praktik dan representasi kita tidak sepenuhnya deterministik (pelaku bisa memilih), namun juga tidak sepenuhnya bebas (pilihannya ditentukan oleh habitus). Praktik-praktik kehidupan tidak hanya bentuk pelaksanaan norma-norma yang sudah tersurat namun menerjemahkan makna permainan yang sudah diperoleh melalui habitus, yaitu makna praktis. Dengan tidak perlu lagi mencari maknanya atau menyadarinya, habitus mampu menggerakan, bertindak dan mengorientasikan sesuai dengan posisi yang ditempati pelaku dalam lingkup sosial, menurut logika arena pertarungan. 

Kelima, konsep habitus memungkinkan untuk menyanggah ekonomisme Marx. Tindakan bukan hanya didorong oleh kepentingan ekonomi, namun ada disposisi dari dalam sehingga indivdu bukan hanya aktor sosial, tetapi lebih merupakan agen (digerakan dari dalam) dan bertindak keluar. Dengan demikian ada struktur logis praktik atau alasan yang imanen pada praktik, yang tidak berasal dari perhitungan yang secara sadar dibuat dan bukan bentuk penentuan dari luar pelaku, tetapi dari habitus pelaku. Meskipun habitus adalah juga hasil pembatinan struktur-struktur bidang tertentu (champ) (Haryatmoko, 2016). 

Modal

Posisi seseorang dalam ranah atau arena sosial sangat tergantung pada komposisi dan jumlah modal yang dimilikinya. Bourdieu membagi modal ke dalam empat kategori, yaitu: modal ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik. Habitus berkaitan dengan modal sebab sebagian habitus berperan sebagai pengganda modal secara khusus modal simbolik. Modal dalam konsep pemikiran Bourdieu yaitu sumberdaya yang dimiliki oleh individu dan berfungsi sebagai aset yang dapat meningkatkan status sosial.

Pertama, modal ekonomi (economic capital) yang berupa harta kekayaan yang dimiliki aktor. Kepemilikan seseorang terhadap harta kekayaan, seperti uang yang banyak, menentukan posisinya dalam arena kehidupan sosial. Modal ekonomi adalah modal yang mudah sekali ditransformasikan menjadi modal-modal yang lain. Dengan uang yang banyak, seseorang dapat membeli segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mendapatkan modal simbolik, seperti membeli rumah dan mobil mewah, perhiasan mahal, dan lain-lain. Ia juga bisa sekolah setinggi yang ia mau, mempelajari banyak hal sehingga menguatkan modal budayanya. Ia juga bisa mentraktir banyak orang, membiayai organisasi yang diikuti atau bahkan didirikannya sendiri sehingga ia dapat membangun modal sosial. Modal ekonomi adalah modal yang paling lentur karena bisa dikembangkan menjadi modal-modal yang lain. 

Kedua, modal budaya (cultural capital) yang berupa serangkaian kemampuan atau keahlian individu, termasuk di dalamnya pengetahuan, keterampilan, cara bergaul, dan lain-lain yang berperan di dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal budaya dapat terwujud dalam disposisi tubuh dan pikiran yang dihargai dalam suatu wilayah tertentu; dapat terwujud dalam benda-benda budaya seperti buku, hasil karya, atau benda-benda lain yang dapat diwariskan; dapat berupa kondisi yang terlembagakan, seperti keikutsertaan dan pengakuan dari lembaga pendidikan.

Ketiga, modal sosial (social capital) yang berupa jaringan sosial yang dimiliki yang juga berperan dalam menentukan kedudukan sosial. Semakin banyak kenalan seseorang dan semakin banyak memiliki kesamaan cara pandang, maka semakin kaya modal sosial yang dimilikinya. Bagi Bourdieu, modal sosial adalah aset dari orang-orang yang berkedudukan istimewa dan merupakan sarana untuk mempertahankan superioritas mereka. Jaringan mendorong orang untuk bekerja sama dan memperoleh manfaat secara timbal balik; membantu orang untuk memperbaiki kehidupan mereka.

Keempat, modal simbolik (symbolic capital), modal ini tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan simbolik, yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi berkat akibat khusus suatu mobilisasi. Modal simbolik dapat berupa kantor yang luas di daerah mahal, mobil dengan sopirnya, namun bisa juga berupa petunjukpetunjuk yang tidak mencolok mata yang menunjukkan status tinggi pemiliknya, misalnya gelar pendidikan yang dicantumkan di kartu nama, cara bagaimana membuat tamu menanti, dan cara mengafirmasi otoritasnya.

Ranah atau Arena

Konsep habitus tidak bisa dipisahkan dari konsep arena perjuangan (champ). Dua konsp itu sangat mendasar karena saling menganadikan, hubungan dua arah: struktur-struktur objektif (struktur-struktur bidang sosial) dan struktur-struktur yang telah terintegrasi pada pelaku (struktur-struktur habitus). Konsep arena perjuangan menjadi sangat menentukan karena dalam semua masyarakat ada yang menguasai dan dikuasai. Dalam pembedaan ini terletak prinsip dasar pengorganisasian sosial. Dominasi ini sangat tergantung pada situasi, sumber daya, dan strategi pelaku. 

Ranah merupakan ruang yang terstruktur dengan aturan dan keberfungsiannya yang khas, namun tidak secara kaku terpisah dari arena-arena lainnya dalam sebuah dunia sosial. Arena membentuk habitus yang sesuai dengan struktur dan cara kerjanya, namun habitus juga membentuk dan mengubah arena sesuai dengan strukturnya. Arena merupakan pengambaran dari ruang dimana interaksi dan posisi kedudukan dari individu itu terbentuk, karena pada dasarnya arena terbentuk melalui proses interaksi antara habitus dan modal yang dimiliki oleh individu.

Bourdieu melihat arena sebagai ranah pertempuran dan perjuangan sosial. Konsep ini memandang realitas sosial sebagai suatu topologi (ruang); medan sosial dipahami sebagai terdiri atas berbagai arena yang memiliki keterkaitan penting satu sama lain. Arena dimaknai sebagai sepotong kecil dunia sosial, sebuah jagad penuh mufakat yang bekerja secara otonom dengan hukum-hukumnya sendiri, misalnya arena politik, seni, ekonomi, agama, dan lain sebagainya. 

Pelaku yang memasuki ranah atau arena tertentu harus menguasai aturan main untuk bisa eksis di dalamnya. Karena itu, arena atau ranah menjadi medan perjuangan aktor dalam menempatkan dirinya di ruang sosial. Para pelaku atau kelompok pelaku didefinisikan oleh posisi mereka dalam ruang tersebut yang ditentukan oleh besarnya modal yang dimiliki dan komposisi keseluruhan modal (Haryatmoko, 2016).

Berdasarkan kepemilikan atas modal tersebut, Bourdieu menyusun masyarakat dalam dimensi vertikal yaitu: pertama, kelas dominan yang ditandai dengan besarnya kepemilikan modal. Pada kelas ini terakumulasi berbagai modal. Mereka menunjukkan perbedaan mereka dengan mengafirmasikan identitas untuk melegitimasi satu visi tentang dunia sosial; mereka juga mendefinisikan dan menentukan budaya yang sah. 

Kedua, kelompok borjuasi kecil. Kelompok ini memiliki keinginan untuk menaiki tangga sosial melalui praktik-praktik kehidupan mereka yang sangat terarah dan cenderung meniru budaya kelas dominan. Ketiga, kelas populer yang ditandai dengan ketiadaan kepemilikan modal.Mereka hampir tidak memiliki keempat jenis modal yang dijelaskan di atas. Praktik dan representasi mereka dalam dunia sosial terlihat dalam hal keunggulan fisik dan penerimaan dominasi. 

Secara keseluruhan, teori Pierre Bourdieu di atas dapat diringkas ke dalam rumusan (Habitus x Modal (Ekonomi, Sosial, Budaya, Simbolik) + Arena = Praktik Dominasi (Ita Musarrofa, 2015). Setiap arena atau ruang sosial membutuhkan modal dan habitus yang tepat untuk dimainkan di arena itu. Kepemilikan atas modal serta habitus yang tepat akan membuat seseorang dominan dalam suatu arena.

Kesimpulan

Teori sosial Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa realitas sosial merupakan perpaduan antara agen dan struktur yang saling berkaitan. Bourdieu mengemukakan konsep habitus, modal, dan ranah (arena) sebagai komponen penting dalam membentuk realitas sosial. Habitus merupakan sistem disposisi-disposisi yang diperoleh dan bertahan lama, sedangkan modal terdiri dari modal ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik. Ranah atau arena merupakan ruang yang terstruktur dengan aturan dan keberfungsiannya yang khas. Teori Bourdieu menyatakan bahwa kepemilikan atas modal dan habitus yang tepat akan membuat seseorang dominan dalam suatu arena. Dengan demikian, teori Bourdieu memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang bagaimana realitas sosial dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Referensi

Haryatmoko, 2016, Membongkar Rezim Kepastian, Pemikiran Kritis Pos-Strukturalis, PT. Kanisius, Yogyakarta

Mangihut Siregar. Teori “Gado-gado” Pierre-Felix Bourdieu. Universitas Udayana. Jurnal Studi Kultural (2016) Volume 1 No. 2:79-82.

Ita Musarrofa. Mekanisme Kekerasan terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga Perspektif Teori Kekerasan Simbolik Pierre Bourdieu. Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, UIN Sunan Ampel Surabaya, Vol. 49, No. 2, Desember2015. 

Siti Ma’rifah dan Muhamad Mustaqim. Pesantren sebagai Habitus Peradaban Islam Indonesia. Lembaga Kajian Sosial dan Agama Tasamuh Institute Kudus, Jawa Tengah, Jurnal Penelitian, Vol. 9, No. 2, Agustus 2015. 

Dr. Dede Syarif. Pierre Bourdieu: Habitus dan Arena, Kanal YouTube Perspektif Sosiologi. Diuplod pada 3 Januari 2021.