![]() |
Ilustrasi |
Muncul sebuah ketakutan dalam diri kita ketika menanyakan keberadaan atau eksistensi Allah SWT. Pertanyaan tentang eksistensi Allah SWT ini masih dinilai tidak rasional, tidak masuk akal, bahkan sebagian orang malah mencelanya dengan menuduh orang yang bertanya demikian adalah murtad, sehingga pertanyaan tersebut harus dihindari.
Dalam sebuah majelis ilmu, seorang ustad pernah menerangkan kitab tauhid Matan Tizan kepada santrinya. Kitab tauhid ini menerangkan keesaan Allah SWT melalui sifat wajib dan mustahil. Setelah ustadnya selesai menerangkan, salah satu santrinya bertanya tentang keberadaan Allah SWT. Sang ustad sedikit diam, tapi berusaha menjawabnya.
"Apakah Allah itu ada? Jika ada dimanakan keberadaannya," tanya sang santri. Sang ustad pun menjawab, "Allah itu ada, karena Allah memiliki sifat wujud yang artinya ada, jadi mustahil Allah itu tidak ada. Bukti Allah itu ada ya adanya ciptaanya, makluk hidup dan alam semesta" terang ustad tersebut. Namun Si santri masih belum puas dengan jawaban ini.
Penejelasan tentang adanya Allah SWT memang tidak bisa sembarangan. Ia membutuhkan pemahaman yang mendalam supaya tidak sesat, karena tidak sedikit orang yang salah dalam menerangkam persoalan ini. Bukannya bertambah keimanannya malah menjadi ragu. Bahkan ada aliran mengatakan bahwa ketika ditanya dimana Allah, mereka jawab "Ada di atas Aras," demikian wahabi menjawabnya.
Jawaban semacam itu dalam kajian Ahlusunnah Waljamaah tidak benar, karena bertentangan dengan sifat wajib bagi Allah SWT tepatnya sifat Qiamuhun Binafsihi (berdiri sendiri) artinya tidak membutuhkan tempat. Dulu saya pernah ikut kajian kitab kuning. Di dalam kitab Kifayatul Awam ternyata ada metodenya dalam memahami tauhid yaitu wajib akal, jaiz akal dan mustahil akal. Jadi apakah mempertanyakan keberadaan Allah bisa dijawab oleh akal?
Nah, sebelum menjawabnya, saya akan mulai menerangkannya dari kedudukan akal dalam Islam. Akal memiliki kedudukan tinggi dalam Islam. Bahkan tidak sah ibadah seseorang apabila tidak sehat akalnya (gila). Jadi yang ber-Islam, yang melaksanakan ibadah, sebetulnya adalah orang-orang-orang yang berakal, sehat akalnya.
Pertanyaannya apakah kita berislam karena pemahaman kita yang sudah sampai pada aspek ketuhanan, atau karena kita mengikuti orang tua saja karena kita lahir dari keluarga muslim. Jika kita menjadi islam karena lahir dari keluarga muslim, maka dari itu Islam sendiri mewajibkan kita untuk belajar Agama.
Maksud saya, ini alasan kenapa belajar ilmu tauhid itu sangat penting. Meski demikian, Islam tidak hanya memerintahkan manusia untuk belajar ilmu agama saja, termasuk ilmu-ilmu lainnya. Maka perintahnya adalah wajib bagi setiap muslim untuk mencari ilmu, wajib bagi setiap muslim untuk terus belajar. Perintahnya umum tidak di khususkan.
Jadi jelas bahwa pertanyaan tentang eksistensi Allah SWT bisa diterangkan oleh akal. Tapi pembahasan tauhid di beberapa kelompok masyarakat kurang dikupas lebih dalam, tradisi belajar agama Islam terutama di kampung-kampung hanya terfokus pada kajian fiqih. Padahal ilmu tauhid itu memiliki kedudukan tinggi sebelum ilmu-ilmu lainnya.
Ilmu tauhid adalah pondasinya dalam beragama. Sayidina Ali pernah berkata bahwa mengajarkan tauhid itu setara dengan berjihad. Jadi suatu ketika Sayidina Ali akan berperang, tiba-tiba seseorang yang belum masuk Islam bertanya tentang tauhid. Sahabat, Ali menegurnya, karena orang itu bertanya di situasi yang tidak tepat. Tapi Ali memberi penjelasan dulu sebelum perang, ia berkata mengajarkan tauhid setara dengan berjihad.
Pembahasan tentang tauhid adalah pokok agama. Ia harus dikupas agar kita menyembah Allah berdasarkan ilmu bukan berdasarkan sekedar ikut-ikutan ajakan orang lain. Apabila kita berislam berdasarkan pemahaman kita, maka itulah sebetulnya yang paling utama. Jadi kita menyembah Allah, mengesakan-Nya karena kesadaran kita karena ilmu (pemahaman) bukan berdasarkan katanya.
Eksistensi Allah
Sejauh pemahaman saya tentang Islam, Islam adalah agama yang rasional dan masuk akal. Jadi tidak bisa kita mengatakan ketika ada yang bertanya tentang tauhid, kemudian kita mencelanya dengan murtad. Jikalau pun kita tidak tahu, maka cukup mengatakan wallahualam. Belajarlah bijaksana, jika tidak tau katakanlah tidak tahu. Silahkan baca Ihyaulumudin tentang bab ilmu.
Penjelasan eksistensi Allah, jelas membutuhkan filsafat. Makanya jangan pernah anti pada filsafat, apalagi mengatakan filsafat itu sesat. Bukan filsafat yang sesat tapi cara belajar kita lah yang mungkin sesat. Makanya bergurunya pada orang yang tepat. Kalau mengatakan filsafat adalah sesat, lalu bagaimana dengan ahli filsafat muslim seperti Imam Al-Ghozali, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun dan yang lainnya.
Untuk menjawab soal eksistensi Allah, pertama kita perlu bertanya lagi apakah pengertian "ada" yang dimaksud santri itu? Makanya apakah yang dinamakan ada itu? Dalam pengertian umum, ada adalah bisa dilihat, bisa diraba, bisa dirasakan. Dalam filsafat pemahaman semacam ini disebut aliran materialisme yaitu aliran yang menyatakan bahwa "ada" itu harus bisa dibuktikan dengan pancaindera karena merupakan sumber pengetahuan manusia.
Kedua, pengertian "ada" secara rasional. Pengertian ini membutuhkan penalaran, bahwa ada tidak mesti terlihat, misalnya apakah yang dinamakan pikiran,? Apakah berbentuk bulat, kotak, atau seperti apa? Tetapi meskipun kita tidak bisa menggambarkannya, kita mengakui bahwa pikiran itu ada dan bisa mempengaruhi tindakan.
Dengan demikian yang dinamakan ada itu ada dua yaitu esensi dan eksistensi. Dan Allah SWT adalah ada secara esensi bukan eksistensi, oleh karenanya Allah memiliki sifat wujud (ada) dalam pengertian zat bukan materi, karena tidak masuk akal kalau Allah ada dalam pengertian materi, karena Allah berbeda dengan makhluk. Keberadaam zat juga lebih dulu, maka setelah wujud sifat berikutnya adalah terdahulu (qidam), kemudian baqa (kekal) dan sifat-sifat berikutnya.
Ada dalam pengertian esensi memang sifatnya kekal, ia tidak akan rusak. Supaya lebih sederhana dan mudah dipahami, terkait "ada" dalam pengertian esensi saya contohkan pada makhluk. Manusia terbentuk dalam dua unsur, raga dan jiwa atau ruh. Raga dapat dilihat lewat pancaindera, terbentuk dari susunan materi, sedangkan jiwa atau ruh ada tapi tidak terlihat tapi masuk akal meskipun tidak terlihat tapi ruh itu ada.
Oleh karenanya, ketika di masyarakat ada yang meninggal, kita kadang mengatakan sudah tidak ada (meninggal) padahal jasadnya ada yang nanti dikuburkan, artinya masuk akal juga ketika Islam mengatakan adanya kehidupan lagi setelah kematian. Dan masuk akal juga terkait adanya hari kiamat, karena segala sesuatu yang berwujud materi memang akan rusak, kapan pun itu. Menariknya karena ini adalah hal yang pasti, dan masuk akal, Islam menjadikannya sebagai rukun Iman yakni kita wajib mengimani hari akhir.
Kembali pada pembahasan kita terkait eksistensi Allah SWT bahwa Allah itu adalah secara esensi. Untuk memahami keberadaan Allah para teolog Islam sudah berijtihad dengan membuat kerangka ketuhanan melalui sifat wajib, dan mustahil pada Allah SWT. Perlu di ingat bahwa, pengenalan sifat-sifat ketuhanan Allah ini melalui penggalian pemikiran mendalam, pendekatan dan tafsir terhadap Al-Qur'an dan hadist.
Kita mungkin perlu banyak belajar lagi agar cara pandang kita melihat alam semesta dan ketuhanan ini lebih luas lagi. Jadi karena pertanyaan santri di atas berkaitan pertanyaan teologi filsafat, memang demikian yang bisa saya terangkan. Meskipun sebenarnya mungkin bisa saya terangkan lebih luas lagi. Tapi saya rasa saya sudahi sampai disini penjelasan kali ini. Semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa dimengerti.
Tidak ada komentar