Konten [Tampil]
Moderasi beragama/ilustrasi/pixabay.com

Istilah moderasi beragama dan pluralis me menjadi popular dalam beberapa tahun terakhir. Namun, gagasan ini masih sangat relevan untuk dihayati dan dimplementasikan oleh kita selaku warga negara Indonesia yang notabene memiliki masyarakat yang majemuk dan pluralitas artinya beragam, ras, suku, budaya, bahasa dan agama. Jadi pluralisme itu sendiri merujuk pada suatu negara seperti Indonesia yang majemuk terutama dalam hal agama. Bagaimanakah sebaiknya menyikapi realita pluralitas ini? Ini merupakan persoalan bersama dan problema semua orang.

Seperti yang kita ketahui disamping budaya, Indonesia terdiri atas berbagai macamagama. Dikutip dari sensus resmi yang dirilis pada tahun 2020, oleh Badan Pusat Statistik Indonesia pada tahun 2018, 86,7% penduduk Indonesia beragama Islam, 10,72% Kristen, 1,74% Hindu, 0,77% Buddha, 0,03% Konghucu, dan 0,04% aliran kepercayaan atau agama lainnya. Keberagaman ini ternyata bisa menimbulkan berbagai persoalan kebangsaan, dan Islam sebagai agama mayoritas harus mengambil peran untuk menyetabilkan negara. 

Dalam ilmu sosiologi kehidupan masyarakat yang pluralis ini memiliki dua dampak yaitu dampak positif dan juga dampak negatif. Dampak positifnya yakni asosiatif (hubungan semakin erat) dan dampak negatifnya yakni disosiatif (hubungan merenggang). Teori sosial menjelaskan perbedaan dalam keberagaman berpotensi menimbulkan konflik, sehingga dibutuhkan berbagai cara pandang baik pemahaman secara filosofis maupun historis.

Mengutip dari Kemdikbud, setidaknya terdapat 4 faktor utama yang sering kali jadi penyebab konflik sosial. Keempatnya adalah: perbedaan antar-individu; perbedaan kebudayaan dan latarbelakang individu maupun kelompok; perbedaan kepentingan; dan perubahan sosial yang terlalu cepat. Selain itu, masih banyak faktor lain yang bisa memicu konflik sosial. Namun kenapa Indonesia bisa merdeka?

Apabila kita tinjau secara historis, bahwa Indonesia eksis menjadi sebuah negara yang merdeka tidak didirikan oleh satu atau dua golongan saja tetapi Indonesia didirikan oleh banyak golongan kemudian bersatu (Bhineka Tunggal Ika), artinya para founding father kita memahami betul dan mengimplementasikan pentingnya kebersamaan, gotong royong, dan prinsip-prinsip toleransi guna mewujudkan kemerdekaan pada saat itumeskipun ditengah perbedaan. 

Ya para founding father kita sangat hebat bisa menyatukan bangsa yang majemuk atau plural, sehingga kita perlu hadir memberikan kesadaran historis, apalagi mengingat disituasi sekarang initantangan kebangsaan semakin beragam. Di era sekarang ini kita mempunyai visi besar dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia sesuai yang tercntum dalam UUD 1945, diantaranya kita perlu memahami betul pluralisme dan moderasi beragama sehingga tidak terjebak dalam hal-hal pemikiran yang tekstual. 

Sesungguhnya kita telah menaifkan diri dan mengatakan diri kita sebagai penganut Islam, tapi belum tentu bahwa pikiran kita telah berjalan sesuai dengan Islam. Faktanya, timbulnya berbagai dinamika dan sentiment keagamaan seperti intoleransi, gerakan keagaamaan ekstrim bahkan radikal merupakan bukti bahwa masyarakat kita masih lemah dalam memaknai pluralisme agama dan moderasi beragama, sehingga ini akan menjadi penghambat dalam kemajuan peradaban kita.

Sejalan dengan persoalan kebangsaan ini, tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU), Ulil Abshar Abdala punpernah mengungkapkan dalam sebuah seminar kebangsaan, saat ini Indonesia sedang menghadapi situasi yang krusial. Ia menerangkan, ujian ini bukan merupakan ujian yang khas Indonesia. Tetapi ujian yang sebetulnya merupakan gejala global. Ia menjelaskan, bentuk yang positif adalah memperkuat ikatan-ikatan di luar keagamaan. Tetapi juga ada kebangkitan keagamaan atau sentimen keagamaan yang bisa menegasikan dan menafikan bahkan kontradiktif dengan sentimen kebangsaan.

“Apa yang saya sebut sebagai situasi yang krusial sekarang ini adalah, kita memang sedang menghadapi satu ujian. Jadi ada kebangkitan sentimen keagamaan, kebangkitan sentimen keagamaan ini bisa mewujud di dalam bentuk yang positif, tetapi juga bisa dalam bentuk yang negatif," demikian kata Ulil saat menjadi narasumber Seminar Nasional Kebangsaan bertema Menuju Masyarakat yang Lebih Beradab di PBNU, Jakarta, 2014 dikutip dari republika.com, pada Selasa, 8 Maret 2022.

Sementara ituAhmad Wahib dalam bukunya berudul Pergolakan Pemikiran Islammenilai bahwa terdapat kevakuman dalam filsafat islam, sehingga menjadi muslim yang emosian.“Saya pikir hal ini disebabkan oleh kevakuman filsafat Islam. Akibatnya kita cuma menjadi muslim emosional,”. Melihat hal ini, menurut saya pluralisme merupakan satu-satunya cara pandang dalam memaknai keberagaman agama. Sesuai dengan pengertiannya, plural (beragam) dan isme (paham) sehingga memiliki arti paham atas keberagaman. Dalam hal ini sangat penting memahami pluralisme agama, disamping pluralisme budaya, sosial, dan ilmu pengetahuan.

Pluralisme Beragama Sebagai Cara Pandang

Pengertian pluralisme menurut Geralrd O’Collins & Edward G. Farrugia, yakni cara pandang fisiologis yang tidak menggambarkan semua pada prinsip atau keyakinan pribadi. Tapi, ketersediaan untuk menerima berbagai macam keragaman yang ada. Ruang lingkup pluralisme di antaranya politik, budaya dan agama.

Meminjam ungkapan Budi Munawar Rachman, dalam bukunya Membela Kebebasan Beragama (2011:1794) mengungkapkan majemuknya negeri ini, kiranya mendesak untuk membangun kesadaran pada setiap warga negara untuk mengedepankan semangat kebersamaan di tengah perbedaan. Untuk itu, pluralisme menjadi alternative yang mendesak untuk diperjuangkan mengingat kemajemukan di negeri ini adalah keniscayaan yang harus mendapatkan perhatian sangat serius.

Meskipun demikian, masih banyak kalangan baik intelektual ataupun agamawan, yang mengidentikkan pluralisme dengan (1) sinkretisme, yang dipahami sebagai penyamaan semua (kebenaran) agama, dan (2) relativisme, bahwa setiap orang atau kelompok berhak atas kebenarannya masing-masing. Kiranya perlu dijelaskan agar tidak salah paham mengenai ungkapan sinkretisme dan relativisme tersebut. 

Dalam ungkapan tersebut adanya kesalahan defenisi (Munawar, 2011). Penyamaan semua agama bukanlah definisi pluralisme tapi singularisme. Pluralisme justru sebaliknya, bukan menyamakan semua agama. Kalau semua agama sama, lantas untuk apa eksistensi setiap agama bagi masing-masing umatnya. Tuhan menurunkan agama Yahudi, Islam, dan Krsiten tidak ada gunanya. Justru pluralisme menandakan bahwa agama-agama itu berbeda, dan Islam adalah agama yang menyempurnakan agama-agama terdahulu.

Adapun soal relativisme, dalam agama pasti ada hal-hal yang mutlak. Kalau tidak, ia menjadi tidak ada bedanya dengan keyakinan-keyakinan atau ideologi-ideologi yang lain. Kalau tidak ada kemutlakan dalam sebuah agama, dia akan kehilangan dimensi keagamaannya. Yang menjadi masalah adalah adanya anggapan mutlak dari suatu kelompok, bahkan pemutlakan terhadap sesuatu yang sejatinya relatif. Titik tengkarnya adalah pada hal-hal yang dianggap mutlak oleh satu kelompok, sementara oleh kelompok lain dianggap relatif.

Dalam setiap agama pasti ada sesuatu yang mutlak. Dalam wilayah kemutlakan itulah biasanya semua agama mempunyai titik temu. Misalnya pengakuanterhadap adanya Tuhan adalah mutlak dimiliki semua agama. Kalau agama mengeliminasi paham atau keyakinan ini, ia tidak lagimenjadi agama. Yang relatif adalah bagaimana pemahaman tentang Tuhan.

Bagi bangsa Indonesia, keragaman diyakini sebagai kehendak Tuhan. Keragaman tidak diminta, melainkan pemberian Tuhan Yang Mencipta, bukan untuk ditawar melainkan untuk diterima (taken for granted). Indonesia adalah negara dengan keragaman etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama yang nyaris tiada tandingannya di dunia. Selain enam agama yang paling banyak dipeluk oleh masyarakat, ada ratusan bahkan ribuan suku, bahasa dan aksara daerah, serta kepercayaan lokal di Indonesia. 

Cara pandang pluralisme tidak mempersoalkan latar belakang alami tersebut. Pluralisme menitik beratkan kepada bangsa untuk lebih menghargai perbedaan, perdamaian dan cinta kasih antar sesama, tidak memandang ras, suku, budaya dan agama. Namun, dalam hal ini Islam sebagai agama mayoritas memiliki peran penting dalam menggemborkan semakan moderasi beragama. 

Moderasi Beragama Sebagai Perekat dan Pemersatu Bangsa

Seperti yang sudah disinggung, bahwa negeri ini memiliki penduduk yang memiliki pluralitas tinggi, termasuk dalam soal agama dan keberagamaan, yang merupakan kenyataan yang tidak terbantahkan. Moderasi beragama menunjuk pada corak pemahaman agama yang moderat. Sinonim dari istilah ini dalam lektur keagamaan Islam adalah wasathiyah (jalan tengah). Dengan moderasi beragama, seseorang tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan saat menjalani ajaran agamanya. Orang yang mempraktekkannya disebut moderat.

Namun benarkan jalan ekstrim itu buruk? Benar! Jangankan ekstrem atau berlebihan terhadap sesuatu yang jelas-jelas buruk seperti kesombongan, bahkan terhadap sesuatu yang dianggap baik pun, jika itu dilakukan berlebih-lebihan, implikasinya bisa menjadi buruk. Lihatlah sifat dermawan. Sifat ini sudah pasti baik karena ia berada di antara sifat boros dan sifat kikir. Tapi, jika seseorang melakukan kedermawanannya secara berlebih-lebihan, ia bisa terjatuh dalam keborosan. Kalau sudah begitu, bahkan kebaikan pun bisa menjadi buruk. Jadi, kunci moderasi adalah tidak berlebih-lebihan, apalagi dalam masalah beragama. Kunci ini penting dipahami supaya setiap orang bisa mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Contoh paling gamblang adalah ketika seorang pemeluk agama mengafirkan saudaranya sesama pemeluk agama yang sama hanya gara-gara mereka berbeda dalam paham keagamaan, padahal hanya Tuhan yang Maha Tahu apakah seseorang sudah masuk kategori kafir atau tidak. Seseorang yang bersembahyang terus-menerus dari pagi hingga malam tanpa mempedulikan problem sosial di sekitarnya bisa disebut berlebihan dalam beragama. Seseorang juga bisa disebut berlebihan dalam beragama ketika ia sengaja merendahkan agama orang lain, atau gemar menghina figur atau simbol suci agama tertentu. Dalam kasus seperti ini ia sudah terjebak dalam ekstremitas yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip moderasi beragama

Dalam konteksnya Indonesia sebagai masyarakat plural, pemahaman moderasi beragama menjadi solusi dalam memecahkan persoalan keagamaan dan kebangsaan tersebut, bahkan dapat menjadi perekat dan pemersatu bangsa. Perbedaan akan menjadi kekuatan apabila masyarkatnya memiliki persepsi dan cara pandang yang moderat. Moderat beragama berarti lebih pengedepankan sikap-sikap sosial yang menyatukan dan membersamakan semua elemen dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Orang moderat harus berada di tengah, berdiri di antara kedua kutub ekstrem itu. Ia tidak berlebihan dalam beragama, tapi juga tidak berlebihan menyepelekan agama. Dia tidak ekstrem mengagungkan teks-teks keagamaan tanpa menghiraukan akal/ nalar, juga tidak berlebihan mendewakan akal sehingga mengabaikan teks. Pendek kata, moderasi beragama bertujuan untuk menengahi serta mengajak kedua kutub ekstrem dalam beragama untuk bergerak ke tengah, kembali pada esensi ajaran agama, yaitu memanusiakan manusia.

Prinsipnya moderat ada dua: adil dan berimbang. Bersikap adil berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya seraya melaksanakannya secara baik dan secepat mungkin. Sedangkan sikap berimbang berarti selalu berada di tengah di antara dua kutub. Dalam hal ibadah, misalnya, seorang moderat yakin bahwa beragama adalah melakukan pengabdian kepada Tuhan dalam bentuk menjalankan ajaran-Nya yang berorientasi pada upaya untuk memuliakan manusia. Orang yang ekstrem sering terjebak dalam praktek beragama atas nama Tuhan hanya untuk membela keagungan-Nya saja seraya mengenyampingkan aspek kemanusiaan. Orang beragama dengan cara ini rela membunuh sesama manusia “atas nama Tuhan” padahal menjaga kemanusiaan itu sendiri adalah bagian dari inti ajaran agama

Kemanusiaan adalah salah satu esensi agama. Kemanusiaan diyakini sebagai fitrah agama yang tidak mungkin diabaikan. Agama mengajarkan bahwa menjunjung tinggi kemanusiaan adalah inti pokok agama. Tuhan diyakini menurunkan agama dari langit ke bumi ini justru untuk melindungi kemanusiaan. Pendek kata, inti pokok ajaran agama adalah untuk menjaga kemanusiaan, bukan untuk menghancurkan kemanusiaan itu sendiri.Jadi, kalau ada paham ekstrem atas nama agama yang berakibat menghancurkan kemanusiaan, misalnya mengakibatkan terbunuhnya orang tak bersalah, paham itu jelas bertentangan dengan fitrah agama dan tentu saja tidak bisa dibenarkan. 

Orang moderat akan memperlakukan mereka yang berbeda agama sebagai saudara sesama manusia dan akan menjadikan orang yang seagama sebagai saudara seiman. Orang moderat akan sangat mempertimbangkan kepentingan kemanusiaan di samping kepentingan keagamaan yang sifatnya subjektif. Bahkan, dalam situasi tertentu, kepentingan kemanusiaan mendahului subjektifitas keagamaannya. Bayangkan jika seluruh bangsa ini memiliki sifat moderat, maka kita dapat berhipotesa bahwa siappun pemimpinnya dari golongan manapun ia akan mengutamakan umat (rakyatnya). Berpikir moderat tak hanya merekatkan persatuan bangsa tetapi dengan bermoderasi tujuan dan cita-cita Bersama seperti keadilan dan kesejahteraan akan tercapai.