![]() |
Ilustrasi Jawara/pixabay.com |
REFERENSI KELAS - Kehidupan sosial merupakan suatu tingkat realitas yang tidak dapat diinterpretasikan dalam hubungannya dengan karakteristik individu-individu.
Dalam kehidupan sosial, masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan.
Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya.
Sesuatu hal yang dihargai akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem lapisan di dalam masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto (2012:199), yang dihargai itu bisa berupa uang, atau benda-benda yang bernilai ekonomis, tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama atau mungkin keturunan yang terhormat.
Ilmuan sosiologi Pitirim A. Sorokin mengemukakan bahwa sistem pelapisan dalam masyarakat di dalam sosiologi dikenal dengan istilah social stratification.
Secara umum stratifikasi sosial bisa diartikan sebagai perbedaan masyarakat secara vertikal atau kedalam kelas-kelas tertentu.
Berdasarkan status sosialnya, masyarakat Kabupaten Lebak mengenal beberapa pelapisan sosial dalam kehidupan mereka. Terutama masyarakat yang memiliki hubungan darah dengan Kesultanan Banten.
Kelompok masyarakat ini di pandang sebagai kelompok bangsawan kelas tinggi. Masyarakat yang masuk dalam golongan ini bergelar Tubagus (untuk laki-laki) dan ratu (untuk perempuan).
Pada abad ke-19 stratifikasi sosial masyarakat Lebak terbagi atas dua lapisan, yaitu golongan elite dan golongan biasa.
Seperti dilansir dari buku "Sejarah Kabupaten Lebak" (dalam Nina. H, et all, 2006: 213) golongan elite terdiri atas kaum ulama, pamong praja dan kaum jawara.
Sedangkan golongan biasa adalah golongan para buruh tani, dan para tukang kuli yang tidak memiliki kekuasaan dan harta kekayaan.
Bagi masyarakat Lebak, ulama dipandang sebagai tokoh masyarakat yang menjadi sumber kepemimpinan informal terpenting. Masyarakat mematuhi perintah ulama karena memandang kaum ulama sebagai sosok yang disegani.
Berbeda dengan kedudukan ulama, Pamong Praja dan Jawara merupakan kelompok sosial yang kedudukannya tidaklah melebihi kedudukan kaum ulama.
Pamong praja merupakan aparat pemegang kekuasaan formal yang terkadang lebih membela kepentingan penguasa daripada rakyatnya. Mereka memiliki senjata untuk memaksa rakyatnya tunduk atas keinginanya.
Oleh karena itu, rakyat menjadi patuh baik kepada pamong praja maupun jawara. Akan tetapi, kepatuhan itu tidaklah didasarkan pada keseganan terhadap karismanya melainkan karena rasa takut di kalangan rakyat.
Meskipun demikian, hal yang paling menonjol pada masyarakat Lebak adalah terkait dengan masalah kejawaraan, dan umumnya di Banten secara keseluruhan.
Jawara bersama-sama dengan ulama merupakan dua komunitas sosial yang begitu kental dalam kehidupan masyarakat Banten sehingga Taufik Abdullah menyebut Banten sebagai "negeri ulama dan jawara".
Bahkan, hingga sekarang, identitas kaum jawara masih melekat dalam masyarakat khususnya Banten dan umumnya masyarakat luas.
Skarang para Jawara di bawah payung organisasi Persatuan Pendekar Banten yang dipimpin oleh Tb. Hasan Sochib, seorang Jawara dari Ciomas, Pandeglang.***
Tidak ada komentar