Konten [Tampil]
Geja Kristen Pasundan Jemaat Rangkasbitung/dok.pribadi.

Lebak merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Banten yang memiliki semangat keberagaman agama, meskipun penduduknya mayoritas beragama Islam. Keberadaan agama lain cukup banyak di Kabupaten Lebak. Hal ini karena dipengaruhi jejak sejarahnya, mulai dari masa pra-Sejarah, masa Hindu-Budha, masa Islam dan masa Kolonial Belanda. Mengenai pemerintahan Belanda di Lebak, tidak bisa lepas dari perkembangan agama Nasrani di Banten. Namun yang menariknya, sejak dulu masyarakat Lebak berpikiran terbuka, toleran dan moderat terhadap agama lainnya. 

Lebak sangat kaya dengan peninggalan sejarahnya. Tak hanya Rumah Ibadah, bangunan lainya seperti; Rangkasbitung Spoor Wegent Complec (Perumahan Karyawan PJKA) yang didirikan pada tahun 1902, Bangunan Sekolah Europeesche Lagere School (ELS), sekarang Gedung SMP N 1 Rangkasbitung), Roemah Pendjara yang dibangun sekitar tahun 1918, Torn Air di dekat Makam Pahlawan, Gedung Juang 45 , Rumah Dinas Bupati, Gedung DPRD Lebak dan masih banyak lagi.

Menurut Iyan Fitriyana (2013:17), keberagaman memiliki konsekuensi logistik terhadap proyeksi pembangunan, khususnya di Kabupaten Lebak ke depan. Hal ini karena kondusivitas kehidupan keberagaman di masyarakat adalah sebuah potensi yang besar untuk membangun suatu daerah dan masyarakat. Sedangkan dalam konteks sosiologis, menurutnya lembaga-lembaga agama dapat mempengaruhi lembaga-lembaga sosial lainnya seperti lembaga keluarga, politik, ekonomi, hukum naupun pendidikan.

Banyaknya tempat ibadah agama-agama selain Islam di Lebak, menunjukkan keragaman agama yang dianut oleh masyarakat Kabupaten Lebak. Berdasarkan penelusuran yang saya lakukan bersama mahasiswa sejarah dalam kegiatan “Hindia”, beberapa tempat atau rumah ibadah tersebut diantaranya adalah Gereja Pasundan (Protestan), Gereja Katolik (Maria Tak Bernoda), Gereja Bethel (Protestan), Vihara Ananda, dan Gereja Pantekosta (Protestan ), yang semuanya berlokasi di Kota Rangkasbitung. 

Menurut Iyan Fitriyana (2013:17), masyarakat Lebak dalam kondisi demikian dapat membentuk sikap toleran. Dalam sebuah keluarga yang bertetangga misalnya, dengan pemeluk agama yang berbeda juga akan menanamkan sikap saling menghargai terhadap tetangganya walaupun berbeda agama. Demikian pula, sikap saling menghargai dan rasa kekeluargaan sebagai bentuk pola hubungan bertetangga yang berbeda agama, akan diterima sejak dini oleh anak-anak dalam keluarga tersebut sebagai sebuah nilai. 

Berbeda dengan anak-anak yang belum diperkenalkan keberagaman sejak dini, ia akan sulit bergaul dengan anak lain yang berbeda agama, karena menganggap suatu hal yang tabu jika berteman dengan orang yang berbeda agama. Saya sendiri pernah merasakan hal demikian, karena sejak kecil berada di lingkungan yang hanya satu agama (Islam), maka sikap saya terhadap anak lain merasa enggan bergaul dengan mereka. Bahkan, membentuk pola pikir negatif terhadap mereka yang non-Islam. Artinya, sejak dini anak-anak harus diperkenalkan tentang keberagaman agama, agar ia terbiasa dan mampu mengembangkan sikap toleran. 

Wujud Toleransi Masyarakat Lebak

Adanya berbagai rumah Ibadah di sekitar Rangkasbitung adalah wujud nyata dari toleransi antar umat beragama di Kabupaten Lebak. Toleransi seyogyanya bukan saja dalam bentuk formal (pikiran), toleransi harus diwujudkan dalam bentuk yang nyata diantaranya dengan memberikan kelonggaran kepada pemeluk agama lain untuk membangun tempat ibadah mereka masing-masing. Berikut ini salah satu foto bangunan rumah ibadah Gereja Kristen Pasundan di Rangksbitung.

Gereja Kristen Pasundan terletak didekat Pos Polisi Jembatan Dua, Jl. Sunan Kalijaga No.5, Muara Ciujung Rangkasbitung. Selain memiliki nilai sebagai wujud toleransi antar umat beragama, bangunan ini juga memiliki nilai sejarah yang penting bagi masyarakat Kabupaten Lebak. Bangunan itu sudah berdiri sejak tahun 1902 dan bentuk aslinya masih dipertahankan hingga sekarang, meskipun ada sedikit perbaikan dan penambahan luas bangunan gedung. 

Alasan mengapa Gereja ini harus berada di Rangkasbitung, karena pada waktu itu pengikut umat kristiani semakin bertambah seiring dengan penyebaran injil di Rangkasbitung. Menariknya, bangunan GKP ini ternyata adalah perpindahan yang sebelumnya berada di Lebak Gedong Kecamatan Leuwidamar yang merupakan Ibu Kota Lebak Pertama (Lubis. N, 2007). Sebuah wilayah yang berada di 47 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Lebak sekarang. Diakui juga oleh masyarakat setempat, Lebak Gedong terdapat pondasi gedung gereja pertama di Banten, yang dibangun pada tahun 1889. Bekas Gereja tersebut oleh mayarakat setempat sekarang disebut Leuweung Gereja (Bahasa Sunda) artinya Hutan Gereja, 100 meter dari kampung Lebak Gedong (Ali. M , 2009).

Awalnya pergerakan ini diprakarsai oleh Mr. FL Anthing pada sekitar tahun 1850an. Beliau merupakan Zending (Penyebar Injil) pertama yang menyebarkan penginjilan, dengan konsep menginjili orang pribumi. Menurut Pendeta Suluh, Ketua Majelis GKP Rangkasbitung, para Zending (Penyebar injil dari Belanda) mendapatkan izin untuk membangun gereja pertama di Lebak Gedong. Lalu pada tahun 1901 pemerintah Belanda memindahkannya ke pusat kota di Rangkasbitung, sedangkan bangunan gereja di Lebak Gedong dihancurkan dan sekarang hanya tersisa bekas pondasinya saja (Wawancara mahasiswa Leuwidamar Amir, 22 th, 2022).

Pendeta Suluh mengungkapkan Jemaat GKP Rangkasbitung tahun 1902 mula-mula hanya berjumlah 15 orang, itu pun merupakan gabungan dari wilayah Cikuya dan hasil peng-Injilan di wilayah lain di Jawa. Namun seiring berjalannya waktu, tahun 2017 sudah terdaftar sebanyak 397 Jemaat. Ini sangat luar biasa, karena di wilayah lain seringkali terjadi penolakan jika adanya pendirian bangunan gereja yang dibangun ditengah penduduk yang mayoritas beragama Islam. Namun tidak untuk Lebak, masyarakat Lebak sangat toleran, dan toleransi tersebut diwujudkan dalam bentuk pembebebasan untuk membangun rumah Ibadah bagi non-Muslim.