![]() |
Pabrik Mix Oil Tampak dari Utara Stasiun Rangkasbitung tahun 1906/dok.pribadi. |
Lebak pernah menjadi lokasi pengembangan industrialisasi pada zaman kolonial Belanda. Hal ini dikarenakan letak Lebak sangat strategis yang dihubungkan oleh sarana transportasi kereta api dari Batavia, Rangkasbitung, Serang dan Labuan. Pada zaman Hindia Belanda tepatnya pada abad ke-19 di Rangkasbitung pernah berdiri kokoh sebuah pabrik minyak bernama Pabrik Mix Oil.
Pabrik ini dikenal sebagai pabrik terbesar se-Asia Tenggara. Pabrik ini adalah pabrik manufaktur yang dulunya berada di area stasiun Kereta Api hingga ke landmarknya pusat perbelanjaan atau plazanya kota Rangkasbitung. Kp. Kongsen Kodim Lebak. Sampai sekarang sisa-sisa bangunanya pun masih ada yaitu dibelakang plaza Rangaksbitung.
Pabrik Mix Oil sudah berdiri sejak tahun 1907 tepatnya setelah dibangunnnya jalur Kereta Api Rangkasbitung-Labuan pada tahun 1906, namun menurut keterangan warga setempat, pada tahun 2004 Pabrik Ini kebakaran, sehingga akhirnya dialihkan menjadi Rabinza Lebak.
Semenjak berkembangnya sistem ekonomi modern di Eropa khususnya, memang peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi mulai bergeser ke sektor industri. Adanya pengembangan sektor industri ini akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan struktur ekonomi dari perekonomian yang berbasis agraris menjadi perekonomian yang berbasis industri.
Menurut interpretasi penulis terhadap data yang ada, pabrik ini sesuai namanya "Mix Oil" dimana jika diartikan bahwa "Mix" artinya campuran dan "Oil" artinya minyak. Maka bisa disimpulkan bahwa bahan bakunya bukan satu jenis melainkan banyak jenis. Pabrik Mix Oil menggunakan bahan baku kelapa, Kedelai, dan biji Jarak (dibaca:jirak). Menariknya Biji kapuk pernah dikembangkan, yang ketika masa pendudukan Jepang minyak ini pernah dijadikan sebagai bahan bakar pesawat oleh Jepang.
Semua bahan baku tersebut di olah menjadi minyak. Namun menurut laporan B. Streefland (1918), dalam arsip Belanda, produksi seperti Kedelai, Jarak dan Biji kapuk hanyalah produksi sampingan sehingga tidak didorong begitu intens oleh Hindia Belanda. Banyak faktor, salah satunya karena proses produksinya ternyata membutuhkan modal yang lumayan besar, ditambah mudah terserang hama.
Jadi bisa disimpulkan bahwa pabrik Mix Olie ini bukanlah pabrik minyak seperti yang kita kenal dan kita bayangkan pada umumnya dengan menggunakan bahan baku kelapa sawit. Pabrik Mix Oil menggunakan bahan baku kelapa yang dibuat menjadi kopra kering. Kopra adalah daging kelapa yang dikeringkan kemudian diolah menjadi minyak.
Pada kurun waktu tersebut tanaman kelapa memang menjadi tanaman primadona dalam perdagangan internasional, dimana selain sebagai bahan baku utama dalam membuat minyak goreng tanaman kelapa juga dapat menjadi bahan lainnya seperti mentega, sabun dan bahan-bahan obat-obatan.
Menurut B. Streefland, 1918 berjudul “Olie Industrie in Nederlandsch-Indie” penanaman pohon kelapa terus dikembangkan terutama daerah pantai seperti wilayah Caringin, Pandeglang. Tercatat bahwa jumlah pohon kelapa di Banten mencapai 1.942.315 pohon yang berbuah yang terdiri dari serang 1.227.943, Pandeglang 503, 273 dan Lebak 211.109.
Berdasarkan keterangan warga Kp. Bungkil, yang enggan memberitahukan namanya, namun ia adalah seorang Dosen, mengatakan bahan baku utama Pabrik Mix Oil tersebut memakai jenis kelapa Hibrida yang didatangkan dari Sulawesi, Sumatera dan sekitar Pulau Jawa. Ia mengungkapkan wilayah Pabrik Mix Oil yaitu dari Stasiun Kereta Api Rangkasbitung hingga ke Kp. Kongsen dan Kodim, Kelurahan Muara Ciujung Timur Kabupaten Lebak (Wawancara, 2021).
Jika dideskripsikan, gedung Pabrik Mix Oil berdenah persegi, dengan atap berbentuk limas. Penutup atap berupa genteng tanah liat yang sekarang sudah tinggal bangunan dan puing-puing yang tanpa atap. Sedangkan di depan bangunan ini terpasang papan informasi yang menegaskan bahwa bangunan tersebut merupakan cagar budaya tertulis “Pabrik Minyak PT. Semarang”.
Bangunan bekas Pabrik Mix Oil itu sekarang sudah tidak utuh lagi, tidak terurus semenjak mengalami kebakaran pada tahun 2004. Sebagian bekas pabrik Mix Oil adalah yang sekarang menjadi Rabinza Rangkasbitung, sedangan di sebelah Utara masih berdiri tembok besar. Di bawah ini adalah peta lokai Mix Oil berdasarkan arsip laporan Belanda pada tahun 1918.
Dibentuknya Asosiasi Perdagangan Kopra di Tjaringin
Keberadaan Pabrik Mix Oil berdampak terhadap sosial-ekonomi masyarakat. Sejak kopra dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan sabun dan margarin ditemukan pada akhir abad ke-19, permintaan kopra di pasaran dunia terus meningkat. Peningkatan pemakaian kopra itu menyebabkan pemerintah Hindia Belanda mendorong petani untuk menanam kelapa. Sejak saat itu para petani, sebagai contoh di Tjaringin yang sekarang masuk Kabupaten Pandeglang-Banten mulai mengelola kelapa menjadi kopra.
Pada hakikatnya produktivitas pohon kelapa sangat ditentukan oleh bibitnya. Menurut Franssen Herdderschee, bibit pohon kelapa yang baik adalah buah dari pohon kelapa yang pertumbuhannya sehat dan telah berusia antara 20-30 tahun (A. Rasyid. A, 2007:109). Sejalan dengan ini AW Jack, seorang peneliti kelapa telah mencatat produksi 500 pohon kelapa selama kelapa selama delapan tahun di Malaya.
Perdagangan kopra mulai lancar terutama setelah dibangunnya jalan Kereta Api Rangkasbitung-Labuan pada tahun 1906. Mereka terutama adalah para pedagang China di daerah Menes dan Labuan. Hal ini menarik terutama jika kita kaitkan dengan ungkapan Gubernur Jenderal Petrus Gerardus van Overstraten bahwa pedagang-pedagang China adalah penghisap darah orang-orang pribumi, seperti ada benarnya (A. Rasyid. A, 2007: 123). Pada mulanya, perdagangan kopra hampir seluruhnya berada di tangan para pedagang China. Baik dalam permodalan, pedagang perantara (pappalele), sampai tingkat eksportir. Mereka mengangkut kopra dari pedalaman sampai ke pusat-pusat ekspor.
Kopra menjadi sumber pendapatan masyarakat pada waktu itu dan sangat berperan penting terhadap ekonomi masyarakat. Namun tak sedikit juga petani mengeluh karena banyak masyarakat melakukan kecurangan, bahkan pencurian kelapa sering kali terjadi. Penjualan kelapa matang dan mentah mulai berkembang pesat, sedangkan kaulitas kopra yang bagus didapatkan dari kelapa yang tua, sehingga para pedagang kopra merasa dirugikan karena kecurangan ini.
Pentingnya kopra sebagai bahan baku industri, ditandai dengan dibentuknya asosiasi oleh Controller C.E. Barre. Asosiasi ini dibentuk untuk mempromosikan perdagangan kopra dan Labuan menjadi pusat pertama perdagangan kopra, yang dimana pada saat itu Bupatinya bernama Raden Adipati Koesoemaningrat. Untuk menghadapi beberapa persoalan yang muncul di masyarakat seperti kecurangan dan pencurian kelapa, maka Belanda melalui sebuah asosiasi tadi bertujuan untuk menertibkan tata cara produksi dan penjualan kopra yaitu dengan mewajibkan kepada para anggota untuk membeli kelapa yang sudah tua. Anggota asosiasi ini adalah penduduk Distrik Charingin, dan siapa saja pedagang kopra atau pemilik pohon kelapa (petani kelapa).
Asosiasi ini mencoba memberantas pencurian, dengan mewajibkan kepada para pedagang kopra dan petani pohon kelapa untuk melakukan transasksi dengan dua katergori: pertama, setiap anggota wajib memiliki kartu anggota dan kartu tersebut sudah disertifikasi oleh dewan Belanda, namun untuk pemilik pohon kelapa tidak diwajibkan. Kedua, saat akan menjual kopra mereka harus menunjukan tiket yang diberikan kepadanya dan menunjukannya kepada pedagang. Jika peraturan ini dilanggar, maka pembeli wajib memberi tahu polisi tentang pelanggaran tersebut dan akan dikenakan denda.
Asosiasi ini awalnya hanya didirikan di distrik Charingin dengan memiliki 3.946 anggota. Namun, cabang ini sekarang telah berpisah dari asosiasi Charingin dan berdiri tanpa badan hukum apapun. Di distrik Menes juga telah terbentuk asosiasi dengan jumlah 2.108 anggota. Pembentukan cabang Menes adalah bentukan dari asosiasi dari Charingin itu sendiri yang meliputi Asosiasi di distrik Tjaringin: Kecamatan Tjaringin dan Tjarita dan satu Bagian dari Kecamatan Tjening dan Pagelaran; Menes: Kecamatan Menes, Bandjarwangi, Tjian Djoer dan berbatasan dengan Kabupaten Menes (Sebagian dari Kecamatan Tjening dan Pagelaran).
Secara umum asosiasi ini bekerja di kedua kabupaten, meskipun belakangan ini terjadi beberapa ketidaksepakatan terutama untuk Vereeniging di Menes oleh oposisi yang dilakukan oleh anggota Sarekat Islam (SI) dan sekaligus anggota dari asosiasi. Asosiasi ini telah membuahkan hasil yang baik jika dibandingkan dengan sebelum pembentukan asosiasi untuk promosi dari perdagangan kopra.
Tidak ada komentar