Konten [Tampil]
Sejarah Konflik Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji/sumber gambar:sindonews

Penulisan tentang sejarah kebantenan masih sangatlah minim. Padahal pengetahuan sejarah harus terus ditulis terus agar tidak hilang ditelan zaman. 

Salah satu sejarah yang menarik untuk dibahas menurut saya adalah soal sejarah konflik di Kesultanan Banten yaitu antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya Sultan Haji. 

Namun, ada kisah yang menceritakan bahwa Sultan Haji yang menentang ayahnya sendiri adalah Sultan Haji palsu. Maka dari itu masih diperlukan pengujian secara kritis tentang kebenaran kisah ini. 

Nina Herlina Lubis dalam bukunya berjudul "Banten dalam Pergumulan Sejarah", menulis tentang adanya konflik tersebut. 

Lalu mengapa bisa terjadi konflik antara ayah dan anak tersebut? Benarkah ini bagian dari politik adu domba (devide et impera) Belanda,? Nah, mari kita simak sejarahnya bersama-sama pada pembahasan artikel ini.

Berdirinya Kesultanan Banten (1522)

Berdirinya Kesultanan Banten ditopang oleh tiga kekuatan utama yaitu Demak, Cirebon dan Banten dengan Sunan Gunung Jati, Fatahillah dan Maulana Hasanudin sebagai pelopornya.

Perintisannya diawali dengan kegiatan penyebaran agama Islam, kemudian pembentukan kelompok muslim, penguasaan daerah secara militer dan politik hingga akhirnya berdirilah Kesultanan Banten.

Dalam tradisi Banten, Kesultanan Banten didirikan oleh Maulana Hasanudin sekitar tahun 1522, bertepatan dengan penobatannya sebagai penguasa Banten oleh Sunan Gunung Jati (Lubis, 2006). 

Konflik Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji

Tepat pada tanggal 10 Maret 1651 Sultan Abulmufakir meninggal dunia, kemudian digantikan oleh Pangeran Adipati Anom atau Pangeran Surya sebagai Sultan Banten kelima dengan gelar Sultan Abufath Abdulfattah Muhamad Syifa Zainal Arifin atau yang kita kenal sekarang dengan Sultan Ageng Tirtayasa. 

Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) adalah seorang ahli strategi perang (Lubis,..). Selain itu, Sultan Ageng Tirtayasa juga menaruh perhatian yang besar pada perkembangan pendidikan agama Islam.

Untuk membina mental para prajurit Banten, ia mendatangkan guru-guru agama dari Arab, Aceh, dan daerah lainnya. Salah seorang guru agama tersebut adalah Syekh Yusuf, ulama besar dari Makasar sekaligus sahabat Sultan Ageng Tirtayasa sejak tahun 1664. 

Dibawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mencapai puncak kejayaanya dan esksitensinya diakui oleh VOC yang berkedudukan di Batavia. 

Banten mampu mengembangkan perdagangannya dengan Persia, Surat, Mekah, Koromandel, Benggala dan Siam, Tonkin dan Cina (Tjandrasasmita, 1976).

Akan tetapi kejayaan tersebut lambat laun menghilang seiring dengan terjadinya konflik internal antara Sultan Ageng Tirtayasa dan anaknya Sultan Abu Nashr Abdul Kahar atau yang dikenal dengan Sultan Haji.

Awalnya Sultan Haji diangkat jadi pembantu ayahnya mengurus urusan dalam negeri, sedangkan urusan luar negeri dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa dan dibantu oleh Putra lainnya Pangeran Purbaya. 

Pemisahan urusan pemerintahan ini tercium oleh wakil Belanda di Banten, W. Caeff yang kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji. Anak pertama Sultan Ageng Tirtayasa ini akhirnya terhasut oleh VOC dan melahirkan benih-benih berburuk sangka pada ayahnya.

Sultan Haji mencurigai ayah dan saudaranya dan khawatir dirinya tidak bisa naik tahta kesultanan karena masih ada putera Sultan Ageng, Pangeran Arya Purbaya. Kekhawatiran ini akhirnya melahirkan persekongkolan dengan VOC untuk merebut tahta kekuasaan Banten. 

VOC bersedia membantu Sultan Haji dengan empat syarat yaitu; Pertama, Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC; Kedua, monopoli lada di Banten dipegang oleh VOC dan harus menyingkirkan Persia, India, dan Cina; 

Dan Ketiga, Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji; dan keempat, pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan segera ditarik kembali (Tjandrasasmita, 1995).

Perjanjian ini diterima oleh Sultan Haji. Dengan bantuan VOC, pada tahun 1681 Sultan Haji berencana melakukan kudeta kepada ayahnya dan berhasil menguasai istana Surosowan yang kemudian berada dibawah kekuasaan Belanda.

Perang Saudara Ayah dan Anak Dimulai

Pada tanggal 27 Februari 1682, pecah perang antara ayah dan anak (Lubis,..). Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa menyerang Belanda untuk mengenang Sultan Haji yang menduduki istana Surasowan. 

Dalam waktu singkat, pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dapat menguasai istana Surosowan. Sultan Haji segera dilindungi oleh Jacob de Roy dan dibawa ke loji milik VOC. 

Dibawah Kapten Sloot dan W. Caeff, pasukan Sultan Haji bersama-sama dengan pasukan VOC mempertahankan loji itu dari kepungan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. 

Akibat perlawanan yang sangat kuat dari pasukan Sultan Ageng Tirtayasa, bantuan militer yang dikirim dari Batavia tidak dapat mendarat di Banten. 

Tapi, bantuan militer segera dikirim dari Batavia dengan syarat Sultan Haji akan memberi hak monopoli penuh kepada VOC di Banten. Sultan Haji menyetujui syarat itu. 

Pada tanggal 7 April 1682 bantuan Kompeni yang dijanjikan itu datang dengan kekuatan besar membalas serangan Sultan Ageng Tirtayasa dengan melakukan penyerangan ke Keraton Surosowan dan benteng istana Tirtayasa. 

Pasukan Belanda tersebut dipimpin oleh Francois Tack dan De Saint Martin, serta dibantu oleh Jonker tokoh yang memadamkan pemberontakan Trunojoyo. Pasukan ini berhasil membebaskan loji dari kepungan Sultan Ageng Tirtayasa (Kartodirdjo, 1992).

Meskipun demikian, Sultan Ageng Tirtayasa terus melakukan perlawanan hebat. Ia dengan gigih meneruskan perjuangannya yang dibantu oleh pasukan Makassar, Bali dan Melayu.

Markas besar pasukannya ada di Margasana. Di sinilah Pangeran Aria Suriadiwangsa bersama 600 sampai 800 orang prajurit bertahan. Pangeran Yogya bersama 400 orang pasukan berada di Kenari, Kiai Arya Jungpati dengan 120 orang pasukan berada di Kartasana. 

Di Serang, tersedia pasukan sejumlah 400 orang. Di Jambangan 400 sampai 500 orang. Di Tirtayasa 500 orang dan di Bojonglopang 100 orang. 

Serangan pasukan Kompeni dibawah pimpinan Jonker, St. Martin dan Tack berhasil mendesak barisan Banten. Margasana pun dapat diduduki. Kecarabuan dan Tangerang juga dapat dikuasai oleh Kompeni.

Sultan Ageng Tirtayasa sendiri kemudian mengundurkan diri ke Tirtayasa yang dijadikan pusat pemerintahannya. Tanara dan Pontang diperkuat pertahanannya. 

Di Kademangan ada pasukan sekitar 1.200 orang, di bawah pimpinan Arya Wangsadiraja. Mereka cukup lama bertahan, tetapi pada tanggal 2 Desember 1682 Kademangan akhirnya jatuh juga ke tangan VOC.

Dalam pertempuran itu, di kedua belah pihak banyak yang gugur. Sebagian pasukan Banten mengungsi ke Ciapus, Pagutan dan Jasinga. 

Dengan jatuhnya pertahanan Kademangan, tinggal Tirtayasa yang menjadi bulan-bulanan Kompeni. Serangan umum dimulai dari daerah pantai menuju Tanara dan Tangkurak. 

Pada tanggal 28 Desember 1682, pasukan Jonker, Tack dan Michielsz menyerang pantang, Tanara, dan Tirtayasa serta membakarnya. Ledakan-ledakan dan pembakaran menghancurkan Keraton Tirtayasa.

Akan tetapi, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menyelamatkan diri ke pedalaman. Pangeran Arya Purbaya juga berhasil lolos dengan selamat dengan terlebih dahulu membakar benteng dan keratonnya. 

Pihak kompeni berusaha beberapa kali untuk mencari Sultan Ageng Tirtayasa dan membujuknya untuk menghentikan perlawanan dan turun ke Banten. 

Sultan Haji kemudian mengutus 52 orang keluarganya menjemput ayahnya sebagai tipu daya untuk menangkap ayahnya di Ketos, dan pada malam menjelang tanggal 14 Maret 1683 iring-iringan Sultan Ageng Tirtayasa memasuki istana Surosowan. 

Tibanya Sultan Ageng Tirtayasa di istana Surosowan telah mengakhiri perang Sultan Ageng Tirtayasa dengan kompeni, karena ia kemudian ditangkap pada 14 Maret 1683, akibat penghianatan putranya sendiri yang bekerjasama dengan Belanda.

Sultan Ageng Tirtayasa dipenjarakan di Batavia sampai ia meninggal tahun 1692. Atas permintaan keluarganya, khususnya cucunya (Sultan Abdul Al Mahasin Zainul Abidin), jenazah Sultan Ageng Tirtayasa dituangkan ke Banten dan dimakamkan di Kompleks Mesjid Agung Banten. 

Sementara itu, Sultan Haji menduduki tahta Kesultanan Banten, namun selama ia memerintah di daerah ini banyak terjadi kerusuhan, pemberontakan dan kekacauan di segala bidang yang ditimbulkan oleh rakyat. 

Selain menghadapi penentangan dari rakyatnya sendiri, Sultan Haji pun harus menghadapi kenyataan bahwa VOC merupakan tua yang harus dituruti segala kehendaknya. 

Karena tekanan-tekanan itu, akhirnya Sultan Haji jatuh sakit hingga meninggal dunia pada tahun 1687. Gubernur Jendral VOC van Imhoff mengangkat anak pertama, Pangeran Ratu menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abul Fadhl Muhammad Yahya yang berkuasa hanya selama tiga tahun.

Sultan Abul Fadhl Muhammad Yahya  tidak mempunyai anak, tahta kesultanan diserahkan kepada adiknya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin juga biasa disebut Sinahun ing Nagari Banten yang menjadi gela sultan-sultan Banten berikutnya. 

Ia memerintah dari tahun 1690 sampai 1733. Oleh karena putera tertunya sudah meninggal, sejak tahun 1733 tahta Kesultanan Banten dilanjutkan oleh putra keduanya yang bergelar Sultan Abulfathi Muhammad Shifa Zainul Arifin (1733-1747).

Pada tahun 1753 Pangeran Gusti dinobatkan menjadi sultan dengan gelar Abul Nasr Muhammad Arif Zainul Asiqin (1753-1773) yang didahului oleh berbagai perlawanan rakyat, diantaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kiai Tapa. 

Berbagai perlawanan rakyat terus menerus terjadi di wilayah Banten sehingga pada tahun 1809 Gubernur Jendral Hindia Belanda Herman Wiliam Daendels menghapus kesultanan Banten dan bekas wilayahnya dibagi menjadi dua yaitu Caringin dan Serang. ***