![]() |
Ilustrasi (sumber foto: pixabay.com) |
Pada suatu ketika saya pernah berdiskusi dengan salah seorang mahasiswa, ia adalah teman saya, hanya saja kami beda kampus. Seperti biasa, saat bertemu kami diskusi soal berbagai cabang keilmuan, tak terkecuali salah satunya adalah filsafat.
Filsafat selalu menjadi kajian yang menarik, meskipun banyak orang yang menentangnya, karena belajar filsafat dianggap tidak berguna, berdebat hanya akan menimbulkan sikap saling bermusuhan. "Islam melarang manusia untuk berdebat" katanya. Saya jawab, Ya, tapi jika debat kusir.
Tentu saja yang dibicarakannya memang pasti tak akan berkesudahan jika salah satu diantaranya tidak mau mengalah. Namun, melalui berdebat bukan berarti ingin mencari siapa yang benar atau siapa yang salah, berdebat hanyalah melatih berpikir kritis, untuk memperkuat argumentasi.
Berdebat tidaklah dilarang, karena menampilkan kebenarannya adalah sebuah dialektika agar menemukan hakikat kebenaran. Apakah yang disebut itu benar? benar artinya tidak sesat, atau suatu argumen yang bisa diterima oleh akal. Benar haruslah masuk akal, karena dasar dari benar itu adalah akal pikiran. Orang bertanya apakah ada kebenaran menurut Tuhan?
Pada saat yang sama teman saya mengatakan bahwa tidak semuanya bisa diterima dengan akal, misalnya akal dengan agama yang dikaitkan dengan filsafat. Keyakinan harus dipisahkan dari akal, karena tuhan tidak bisa dirasionalisasikan dengan akal, demikian katanya.
Teman saya mencontohkan, misalnya jika kita bertanya tentang tuhan, jika tuhanmu Allah, lalu dimanakah Allah itu,? Nah, pertanyaan ini menurutnya sesat tidak bisa dijawab oleh akal, karena Agama berkaitan dengan kepercayaan, atau keimanan seseorang, ia tidak bisa diganggu gugat oleh akal.
Baiklah, demikianlah pembahasan mengenai filsafat dan agama memang diperlukuan nalar berpikir yang mendalam. Tapi, sejujurnya saya membantah ungkapan tersebut, saya tetap pada prinsip bahwa akal (filsafat) tidak harus dipisahkan dengan agama, justeru ketika kita meyakini sesuatu maka sesuatu itu harus bisa diterima dengan akal.
Jika memang akal harus dipisahkan dengan keyakinan, apakah menurut anda kita sah menjadi seorang muslim jika kita tidak memiliki akal? apakah sah sholat dan puasa kita apabila ia mengalami gangguan akal (sakit jiwa)? Bagi saya syarat umat beragama ia harus baik akalnya.
Untuk menuju tuhan ia harus baik akalnya, maka dari itu, manusia diperintahkan untuk terus belajar, melatih akal, melatih nalar berpikirnya. Belajar adalah wajib bagi setiap muslim, dan belajar menurut Islam itu adalah belajar seumur hidup. Sementara itu, akal adalah alat untuk menuju hakikat tuhan.
Misalnya, saat kita masuk Islam kita harus belajar bukan saja status agama Islam tapi mengetahui mengapa saya harus Islam. Apakah kita akan menjawab pertanyaan ini dengan pertanyaan bahwa karena orang tua kita Islam? Melalui pendidikan dan pembelajaran, akal manusia terus diasah mencari tahu ada apa sebenarnya dibalik agama itu.
Pada artikel ini kita akan membahas apakah akal dan iman, atau agama dan filsafat itu harus alami, seperti yang dikatakan oleh teman saya diatas, bahwa agama tidak memberikan tempat untuk akal, saat kita mencoba membahas filsafat dan agama seolah-olah selesai, karena dalam agama itu ada Iman dan iman tidak bisa dirasionalisasikan.
Saya antitesis (membantah) terhadap argumen tersebut, karena saya memiliki beberapa argumen bahwa akal harus mendapatkan kedudukan utama sebelum Iman. Untuk membahasnya pertama-tama kita harus mengetahui terlebih dahulu apakah hakikat akal itu? Setelah itu maka barulah kita akan membahas tentang akal, iman dan mengatikannya dengan filsafat.
Ibnul Jauzi menyebutkan dalam bukunya Dzamul Hawa, orang-orang berbeda pendapat mengenai hakikat akal. Sebagian mengatakan akal merupakan bentuk dari pengetahuan yang bersifat primer, kelompok lain mengatakan akal adalah suatu dorongan yang dibarengi dengan perolehan pengetahuan.
Al-Muhasibi mengungkapkan akal adalah cahaya. Sedangkan Abu Al-Hasan At-Tamimi juga mengungkapkan akal adalah cahaya. Sementara itu, Ibrahim Al-Harbi meriwayatkan dari Ahmad bahwasannya ia menuturkan "akal adalah sebuah dorongan.
Berdasarkan pendapat tersebut Ibnul Jauzi menyimpulkan bahwa akal merupakan suatu dorongan layaknya sebuah cahaya yang dihujankan di dalam hati yang kemudian digunakan untuk menemukan sesuatu sehingga mengetahui mana yang rasional dan tidak.
"Cahaya tersebut dapat mengecil dan membesar. Jika cahaya tersebut menguat maka akan bisa mengekang yaitu dengan cara menyimpulkan berbagai akibat yang akan terjadi dimana nafsu sering datang," katanya.
Mengenai apa yang terkandung dengan Iman, seperti disebutkan dalam Kitab Qotrul Ghaits fi Syarhi Masāil Abī Laits , kebetulan saya pernah bandungan kitab ini, bahwa Iman adalah percaya kepada Allah SWT, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan takdir yang baik maupun yang buruk dari Allah SWT.
Secara etimologis iman artinya percaya. Percaya mengenai erat dan tidak bisa dipisahkan dari mengenal atau mengetahui ( ma'rifat ). Dalam arti kepercayaan terhadap sesuatu itu tumbuh dengan dilandasi dan didasari pengetahuan dan pengenalan terhadapnya.
Jika seseorang mempercayai sesuatu maka dia mengetahui dan mengenalnya. Dalam Khasyiyah Jami' al-Shahih lil imam al-Bukhari disebutkan bahwa kadar dan tingkat keimanan seseorang kepada Allah itu tergantung pada sejauh mana kadar pengetahuan dan pengenalan ( ma'rifatullah ) orang tersebut kepada Allah.
Maka pertanyaannya apakah yang membuat kita percaya? disinilah kita mulai masuk pada pembahasan filsafat. Filsafat membedah masalah-masalah kalam, akidah, syariah dan akhlak. Namun ketika kita tidak menemukan pemahaman juga bukan berarti kita harus menyalahkan filsafat, dengan mengatakan agama harus dijauhkan dari filsafat ia tidak bisa dirasionalisasikan. Ini jelas sama dengan mendiskreditkan akal, padahal apa yang membedakan manusia dengan binatang adalah akal, dan dengan akalnyalah ia beragama.
Saat kita menjadi Islam kebanyakan orang memang menjadi Islam bukan karena kadar pengetahuannya, tetapi karena kita menjadi Islam karena orang tua kita Islam sehingga kita manut, maka disebutlah bahwa kita sudah Islam dari pabriknya. Sejak kecil kita sudah diajari tentang ritual agama Islam, seperti sholat, puasa, membaca Al-Quran, zakat dan lain sebagainya, tapi kita belum sepenuhnya paham dengan apa yang kita imani itu.
Di salah satu forum diskusi saya pernah bertanya apakah kita sudah Islam karena orang tua kita Islam, pertanyaannya apakah kita harus syahadat? bukan syarat menjadi Islam itu harus syahadat, lalu kapan kita syahadat mengakui bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhamad adalah utusan Allah swt. Nah, maka dari itu pentingnya belajar memahami karena kita menjadi Islam bukan berdasarkan pengetahuan ( ma'rifatullah ).
Berdasarkan argumen itu maka akal memiliki kedudukan sentral dalam beragama, oleh karena itu akal harus diasah melalui belajar, seperti sudah kita ketahui bersama bahwa belajar adalah wajib bagi setiap muslim. Selain itu, belajar juga haruslah seumur hidup, ia tidak mengenal waktu, usia, harta atau pun jabatan. Dalam konteksnya iman maka belajar adalah mencari pemahaman tentang yang kita imani tersebut.
Masalah keimanan seringkali disebut sensitif apalagi kesehatannya dengan filsafat karena katanya banyak yang sesat karena filsafat. Ungkapan ini juga perlu kita kritisi bahwa bukan filsafat yang membuat tersesat sehingga filsafat harus dijauhkan dari agama. Jika ada yang sesat itu bukan salah filsafat tapi salah orang yang mengajarkannya karena tidak paham filsafat sehingga membuat orang lain sesat dan taklid.
Sejak dulu sudah ada bahkan banyak para filsuf yang ingin menyampaikan pikiran-pikiran kaum muslimin. Namun Islam tidak membiarkan begitu saja, melainkan Islam membuat tandingan terhadap filsafat barat, maka dalam periode tertentu munculah para filsuf muslim yang membantah filsafat barat yang menyesatkan. Misalnya, Imam Al-Ghozali menulis karya berjudul Tahafut Al-Falsafah, artinya kerancuan dalam filsafat.
Setelah saya membacara bukunya tersebut, menurut saya Al-Ghozali adalah salah seorang filsuf yang memiliki pemahaman paling baik diantara filsuf Islam lainnya. Hobinya sejak kecil memang berpikir, ia membedah masalah akidah, syariah dan akhlak. Namun, meskipun ia seorang filsuf akhirnya ia dikenal sebagai salah satu imam tasawuf. Untuk mengenali pemikirannya silahkan pembaca baca karyanya tersebut.
Mungkin hanya itu saja yang bisa saya jelaskan mengenai iman, akal dan filsafat. Kesimpulan dari tulisan ini bahwa akal memiliki kedudukan sentral dalam agama, ia adalah cahaya yang akan memberikan pencerahan pada pikiran yang gelap. Kita perlu memahaminya secara bertahap, apalagi membahas akidah, karena segala sesuatu pasti ada tahapannnya. Iman ada tahapan dan tingkatannya, ilmu ada tahapan dan tingkatannya. Tahapan tertinggi dari iman adalah hakul yaqin, tahapan tertinggi dari ilmu adalah ma'rifatullah dan tahapan tertinggi dari amal adalah akhlak.
Tidak ada komentar