Konten [Tampil]

Ilustrasi analisa pemiliha bupati Lebak

Fenomena politik menjelang Pilkada 2024 saat ini bisa dilihat dalam berbagai perspektif diantaranya dari kesejarahan politik daerah itu sendiri. Ada istilah sejarah itu berulang, karena sejarah berperan dalam mewariskan budaya, nilai-nilai dan karakter masyarakatnya.

Analisa pemilihan bupati bisa dilihat dari sejauhmana orang lebak kooperatif. Masalahnya, tidak ada sejarahnya orang yang kritik terhadap pemerintah di lebak terancam dibunuh atau diintimidasi. Justeru saat ada orang yang kritik keras, ia akan diambil dan diberi posisi, apalagi soal-soal Pilkada. 

Itulah sekilas tentang sejarah aktor pemberontak terhadap pemerintahan bupati lebak pertama (Senajaya). Ki Sahab adalah seorang oposisi bahkan pemberontak, tapi bukannya dibunuh, malah bupati Senajaya menjadikan Ki Sahab sebagai Demang di Gunung Kencana, padahal Ki Sahab sudah membunuh beberapa pamong praja. 

Jadi membicarakan soal politik lebak, apapun persoalannya, apapun masalahnya akan selesai hanya dengan ngopi bareng. Termasuk saat ini muncul beberapa tokoh yang katanya akan mencalonkan diri sebagai calon bupati lebak pada Pilkada 2024 nanti. Lalu bagaimana? 

Saya katakan, kebudayaan orang lebak dibentuk oleh sejarah, dan banyak sedikitnya telah membentuk karakteristik orang lebak itu sendiri. Orang lebak belum mampu menjadi oposisi, maka bisa dipastikan yang ramai akan mencalonkan diri sebagai bupati hanyalah gimik belaka.

Mungkin kita membayangkan dengan banyaknya calon bupati nanti akan terjadinya pertarungan sengit dalam kontestasi di Pilkada 2024 ini. Tapi apakah mungkin? Kita lupa kalo sejarah tidak menuntun orang Lebak benar-benar memiliki tekad kuat untuk menjadi oposisi.

Sejarah telah menunjukan bahwa ketika seseorang beroposisi, bahkan kritik keras terhadap pemerintah, namun selama aktor tersebut bisa diajak satu meja, tidak perlu dianggap serius, ia akan selesai hanya dengan ngopi bareng. Sekeras apapun, bahkan memberontak seperti yang dilakukan Ki Sahab sekalipun.

Kasus Ki Sahab

Pada masa kepemimpinan Bupati Lebak pertama, sekitar awal abad ke-19 muncul seorang tokoh bernama Ki Sahab. Ia adalah seorang pemberontak yang kritis terhadap pemerintah. Pemberontakan yang dipimpinnya itu terjadi di Banten Kidul, Cilangkahan, yang saat itu dipimpin oleh Bupati Senajaya.

Untuk mengatasi pemberontakan itu, Senajaya, yang juga merupakan bupati Lebak pertama itu memerintahkan seorang tokoh bernama Ngabehi Bahu Pringga atau dikenal Ki Patih untuk meredam pemberontakan. Akhirnya Ki Patih berhasil menangkap Ki Sahab dan membawanya ke hadapan bupati. 

Alih-alih Ki Sahab dibunuh dan dihukum oleh bupati, ia justeru diberi jabatan sebagai Demang Gunung Kencana. Meski demikian, Ki Sahab, bukanlah satu-satunya aktor, karena di sampinng itu juga terdapat aktor pemberontak lain yaitu H. Tassin, Moba, Mas Haji, dan Mas Rakka.

Kasus pemberontakan Ki Sahab adalah salah satu gambaran sejarah tentang wajah politik Lebak di masa lalu dan sekarang. Motif pemberontakan Ki Sahab pada waktu itu beragam. Mengutip (Lubis.N. 2007) motif pemberontakan Ki Sahab adalah motif agama, politik dan ekonomi.

Kasus sejarah tersebut memberikan kita referensi penting dalam memahami fenomena politik masa lalu dan sekarang menjelang pemilihan bupati dan wakil bupati pada Pilkada 2024 berdasarkan perspektif kesejarahan. 

Pemilihan Bupati Lebak 2024

Apabila Kisah Ki Sahab ditarik dalam fenomena politik yang sekarang, kita bisa melihat arah politik pemilihan bupati lebak di Pilkada 2024 nanti. Pertanyaan yang ingin kita ajukan adalah berapakah calon bupati dan wakil bupati pada Pilkada 2024 di Kabupaten Lebak nanti? Akankah terjadi pertarungan sengit?

Saat ini telah muncul diberbagai media nama-nama di bursa Calon Bupati Lebak yaitu Moch. Hasbi Asyidiki Jayabaya dari PDIP, Ade Sumardi dari PDIP, Oong Syahroni dari Partai Gerindra, Iip Makmur dari PKS, Suparman dari Golkar, Junaedi Ibnu Jarta dari PDIP, dan Moch. Nabil Jayabaya dari PDIP. Selain itu, ada juga Usep Pahlaludin dari Apdesi Lebak.

Melihat sejarah politik lebak yang dimunculkan dari aktor bernama Ki Sahab di atas, orang Lebak nampaknya akan bersikap kooperatif terhadap pemerintah yang dalam hal ini adalah keluarga Jaya Baya (ayah dari H. Iti Jaya Baya). Trah JB masih sangat kuat, sedangkan karateristik orang Lebak masih lemah. 

Wajah politik lebak memperlihatkan bahwa orang lebak tidak cukup kuat memiliki karakter untuk menjadi oposisi. Selama motifnya adalah politik dan ekonomi, maka tidak mesti menjadi oposisi karena hal itu bisa dibicarakan sambil ngopi. Sehingga yang nanti akan resmi sebagai calon Bupati dan wakil Bupati Lebak hanyalah satu pasangan calon. 

Politik di ibaratkan permainan wayang diatas panggung dan kendaraan politiknya berlalu lalang. Segala apa yang ditampilkan oleh para aktor politik bertujuan untuk menarik simpati, entah itu menarik simpati rakyat, atau pun dari lawan politiknya. Jadi apa yang dilihat terkadang bukan wajah sebenarnya. 

Munculnya berbagai nama menjelang pemilihan bupati dan wakil bupati di kabupaten lebak adalah momentum bagi setiap aktor politik untuk beradu gengsi. Politik selalu memberikan pilihan, jadi dalam konteks Pilkada, kenapa mesti mengejar bupati jika menjadi wakil bupati diberikan pilihannya. 

Aktor politik di kabupaten lebak seperti cerminan sejarahnya, sejauh ini akan tetap kooperatif artinya semua akan selesai dengan ngopi bareng selama motif-motifnya bisa terpenuhi. Artinya tidak akan ada oposisi, karena akan hanya ada satu pasang calon, dan lawannya adalah bumbung kosong.